Kami tiba di Kota Muaro Sijunjung ketika matahari akan tenggelam di barat sana. Bojeng mempersilahkan kami duduk di kedai warung kopi tempat biasa ia nongkrong, berkumpul bersama teman – temannya sembari ngopi dan menghisap rokok.
Disana sudah ada tiga teman Bojeng lainnya yang sudah tiba di Muaro Sijunjung sebelum kami. Dua diantaranya berasal dari Pariaman sedang seorang lainnya dari Padang.
Menghafal sebuah nama memang lebih sulit ketimbang menghafal sebuah wajah, dari ketiga teman Bojeng itu hanya satu nama saja yang saya ingat yaitu Ryan.
Kedatangan mereka kesini adalah untuk melayat ke salah seorang sahabat mereka yang baru saja ditinggalkan oleh ayahnya. Bojeng dan mereka memang tergabung dalam Ikatan Pendaki Gunung Sumatera Barat, IPGSB, dan sahabat mereka pun demikian. Saya salut dengan rasa saling memiliki yang mereka punya, meski saling berjauhan namun mereka tetap menunjukan rasa simpati kepada sahabatnya.
Gelap malam datang, kami semua beranjak menuju rumah Bojeng yang seringkali disebut sebagai basecamp-nya pecinta alam Sijunjung karena seringkali para pecinta alam yang datang ke Sijunjung menyempatkan singgah atau menginap di rumah ini.
Rumah bojeng berbentuk persegi panjang, memiliki halaman yang cukup luas, di depan rumah terpasang sebuah parabola yang berbentuk seperti pinggan raksasa. Ya, disini sinyal televisi tidak dapat menjangkau jika hanya mengandalkan antena biasa. Hampir tiap rumah di kota ini terpasang parabola dengan bentuk yang sama. Bagi yang memilik uang lebih, mereka lebih memilih menggunakan parabola untuk televisi berlangganan karena channel yang ditayangkan jauh lebih bagus dan bervariasi.
“ayo, tur, kita ke Sijunjung” ajak Bojeng kepada saya
“ada apa disana?” tanya saya
“kita semua mau melayat” jawab Bojeng
Kami pun berangkat bersama beriringan dengan sepeda motor menuju Nagari Sijunjung. Dari rumah Bojeng menuju Nagari Sijunjung memakan waktu sekitar 20 menit. Kami pun sampai di rumah Erna, sahabat dari Bojeng dan kawan – kawannya. Hari itu suasana rumahnya masih diselimuti rasa berkabung karena baru saja ditinggalkan oleh orang yang dicintai. Kedatangan kami malam itu bertujuan untuk menghibur dan menyabarkan Erna.
Malam semakin larut, kami pun berpamitan kepada Erna.
Dua kawan yang dari Pariaman akan melanjutkan perjalanan pulang malam itu juga. Sedangkan Ryan dan kami kembali ke rumah Bojeng.
Kami kembali melewati jalan yang sama saat berangkat. Terlihat sekali jalan yang sangat sepi, hanya satu dua mobil saja yang melaju melintasi jalan. Di pusat kota-nya pun demikian, hanya ditemukan beberapa penjual yang menjajakan dagangannya.
Tanpa hiburan apapun di malam hari, serta suasana yang masih sepi karena ditinggalkan perantau membuat malam itu terasa lebih lama dari biasanya.
Sesampainya di rumah Bojeng, ia menawarkan kami untuk makan malam dengan lauk yang sederhana yakni samba lado tanak yang dicampur dengan daun singkong dan lauknya ikan tongkol. Sesederhana apapun makanannya jika kita makan dengan rasa syukur maka akan terasa sangat nikmat.
Usai makan kami habiskan waktu di teras rumah sembari menyeruput kopi, memandangi langit yang indah dengan bintang – bintang, serta bulan yang berpendaran menciptakan fenomena halo bulan yaitu sebuah lingkaran besar yang melingkari bulan.
Sudah masuk dini hari, Ryan dan Alwan tak kuat lagi menahan rasa kantuknya, mereka mulai terlelap. Saya sendiri masih meladeni obrolan Bojeng. Kami berbagi banyak cerita dan pengalaman tentang petualangan dari kami masing – masing.
Dari obrolan ini saya merasa kagum dengan perjuangan Bojeng yang mencoba mengenalkan keindahan tempat kelahirannya. Melalui akun sosial medianya seperti Instagram, facebook, Bojeng memperlihatkan keindahan – keindahan yang dimiliki Kabupaten Sijunjung. Dan memang dari akun Instagram-nya lah yang membuat saya ingin mengenal kabupaten ini lebih dekat. Saya ingin menuliskan kisah jelajah saya selama di Sijunjung. Namun, saya harus menunggu terang datang.
Bojeng masih menikmati sebatang rokok yang ia hisap dalam – dalam, saya sendiri sudah berada di alam mimpi.
Comments