“Matahari kan bersinar sayang
Mendung kan tertiup angin
Burung – burung kan bernyanyi sayang
Menghibur hati yang sedih
Hujan pun akan berhenti sayang,
Alam pun akan berseri”
Kutipan lirik lagu dari Koes Plus berjudul Hidup yang sepi nampaknya tepat menggambarkan suasana usai kami shalat zhuhur di Masjid Tuo Kayu Jao. Hujan reda, kabut menghilang, awan – awan pembawa hujan pergi ke wilayah lainnya, dan langit berwarna biru.
Dari Masjid Tuo Kayu Jao menuju kawasan Danau Kembar sudah dekat, Jika Dhea, teman saya asal Kupang akan mengatakan “tidak ada tiga kedip mata su sampai, kaka”
“Nah itu Danau Diatas, wan” kata saya kepada Alwan. Ketika pemandangan Danau Diatas sudah terlihat di sisi sebelah kanan jalan.
Agak rancu memang namanya, mengapa danau yang berada di bawah disebut Danau Diatas dan sebaliknya danau yang berada di atas disebut Danau Dibah. Penamaan ini memang bukan berdasarkan dari posisi danau – danau tersebut melainkan dari muka airnya yang ketika dilakukan perhitungan muka air pada danau yang berada di bawah memiliki ketinggian yang lebih tinggi daripada danau yang berada di atas.
Di tepi – tepi jalan nampak penjual markisa, anak – anak muda yang memberhentikan motornya untuk mengambil foto dengan latar Danau Diatas secara bergantian. Ingin ikutan juga, tapi tanggung karena tempat berhenti yang saya inginkan sudah dekat yaitu Kawasan Wisata Convention Hall Danau Diatas yang berada di Lembah Gumanti, orang – orang sekitar sana menyebutnya kawasan villa.
Berhubung sudah masuk jam makan siang maka kami menepi dulu di sebuah rumah makan yang nampak ramai tempat parkirnya tanda rumah makan ini cukup digemari. Saya memesan dua nasi bungkus lengkap dengan lauknya ikan mujair, telur dan ikan rayo yang saya pilih karena penasaran, ikan jenis apa ini? Baru dengar ada ikan dengan nama rayo yang ternyata hanyalah penyebutan bagi ikan mas oleh orang Minang.
Memasuki kawasan wisata Danau Diatas, kami membayar tiket masuk sebesar Rp 10.000 per orangnya. Baru berjalan sebentar dari pos retribusi kami dihentikan lagi oleh petugas pos lainnya untuk memungut uang parkir sebesar Rp 5.000 untuk jenis kendaraan sepeda motor. Harga parkir yang kurang pantas. Tapi sudahlah ikuti saja aturan main disini.
Bunyi hasil gesekan daun – daun pinus yang tertiup angin menyambut kedatangan kami, ya, disini banyak tumbuh pohon pinus yang berdiri rapi berjajar. Adanya pohon – pohon tersebut menjadi suasana disini bertambah sejuk.
Kami berusaha mencari tempat yang asik untuk makan siang dan sepertinya bukan kami saja yang datang jauh – jauh kesini hanya untuk pindah makan siang namun banyak sekali wisatawan lainnya yang melakukan hal serupa. Sudah tiga tahun berturut – turut saya merayakan libur lebaran di Ranah Minang, disini terlihat sekali jika sedang libur lebaran maka biasanya setelah satu atau dua hari hari raya, orang – orang akan berbondong – bondong keluar rumah menuju tempat wisata.
Malam atau pagi sebelum berangkat para ibu sudah sibuk masak nasi serta lauk – lauk lezat seperti ayam goreng, rendang, dendeng lengkap dengan sambal jariang-nya, tak ketinggalan pucuak parancih sebagai pelengkap. Semua menu makan siang sudah siap, mereka pun berangkat menuju tempat wisata yang dinginkan. Bagi keluarga yang berada, mereka pergi menggunakan mobil pribadi sedangkan bagi keluarga low budget dan tidak memiliki kendaraan biasanya akan patungan untuk menyewa mobil bak terbuka yang dimodif dengan cara memberikan pagar dan atap sementara guna melindungi dari sengatan matahari dan hujan. Maka tak heran jika saat lebaran kita akan sering menemukan kendaraan – kendaraan bak terbuka berkeliaran di jalan lengkap dengan para manusia dibelakangnya.
Ramainya orang yang datang untuk pindah makan disini membuat kami agak kesulitan menemukan tempat yang asik buat kami santab siang selain itu sampah yang berserakan, serta sampah yang dibakar mengeluarkan asap dengan bau busuk yang menyengat juga membuat kami merasa kurang nyaman disini. Akhirnya setelah susah payah mencari dapat juga tempat yang kami inginkan, saya buka alas tenda sebagai alas kami untuk makan, jadi tak perlu sewa tikar, lumayan penghematan Rp 15.000 yang bisa kami gunakan untuk beli bensin.
Makan siang di tepi danau ditemani dengan angin yang membawa rasa dingin sungguh terasa sangat nikmat, makan semakin berselera, apalagi sambal lado-nya yang nendang banget.
Comments