Tanah Datar adalah nama salah satu kabupaten di Sumatera Barat. Sama seperti kabupaten – kabupaten yang ada di Sumatera Barat lainnya. Saat ini ia sedang menggiatkan promosi pariwisatanya dengan obyek wisatanya yang didominasi oleh atraksi budaya dan peninggalan sejarah. Hal itu tentunya berkaitan dengan sejarah Kerajaan Pagaruyung yang pernah menjadikan wilayah Tanah Datar sebagai pusat pemerintahannya.
Well, usai mengeksplore keindahan Lembah Harau di Kabupaten Lima Puluh Kota selanjutnya kami akan menuju wilayah Tanah Datar. Kami hendak mengunjungi dua obyek wisata yang ada disana diantaranya Istana Basa Pagaruyung dan Nagari Pariangan.
Mengagumi Kemegahan Istana Basa Pagaruyung
Dari Lembah Harau kami menempuh perjalanan sejauh 55 kilometer untuk sampai di Istana Basa Pagaruyung. Kami melewati Kota Payakumbuh, istirahat makan siang di Situjuah lalu melewati Nagari Tabek Patah yang memiliki panorama persawahan amat luas dengan latar Gunung Marapi.
Akhirnya kami pun tiba di pintu masuk Istana Basa Pagaruyung. Tiket masuk ke istana saat ini telah mengalami kenaikan dari Rp 7.000 menjadi Rp 15.000 untuk wisatawan domestik. Wow, naiknya lebih dari 100%, semoga kenaikan ini dibarengi dengan penambahan atau perbaikan sarana dan prasarana yang ada di Istana Basa Pagaruyung.
Awalnya Intan, Henny dan Afika berminat mengenakan pakaian adat khas Minang yang merupakan salah satu atraksi yang ada di Istana. Namun, teriknya matahari kala itu menyurutkan niat mereka.
“ayo, bapak ibu, lepas alas kakinya dan masukan ke dalam plastik yang tersedia” kata seorang petugas.
Ya, untuk masuk ke dalam bangunan Istana Pagaruyung, pengunjung diharuskan membuka alas sepatu. Tepat di tangga masuk istana.
Setelah mengisi buku tamu, kami mulai melihat – lihat isi bangunan istana yang megah ini. Ruang paling bawah merupakan ruang utama dengan beberapa bilik di samping dan belakang. Tujuh bilik di sisi belakang adalah kamar para putri raja yang telah menikah.
Di tengah ruangan yang didominasi dengan kain berwarna kuning ini merupakan singgasana tempat raja menjalankan pemerintahannya, banyak sekali wisatawan yang mengambil foto disini.
Naik ke lantai dua, disini merupakan ruang kamar tidur bagi putri raja yang belum menikah. Sedangkan lantai teratas, dulunya merupakan ruang santai bagi raja. Pada kedatangan saya sebelumnya, ruang ini berisi display koleksi senjata, sayangnya saat ini sudah tidak ada lagi koleksi senjata yang dipamerkan. Ada yang tahu kenapa?
Sayup – sayup terdengar bunyi alat musik talempong dari arah timur, usai keluar dari bangunan istana kami pun menuju ke arah suara. Ternyata sedang ada latihan tarian tradisional, mungkin sore nanti akan ada pertunjukan di istana. Sayangnya, karena waktu kami yang terbatas, kami harus segera meninggalkan istana.
Nagari Pariangan, Nagari Asal Usul Orang Minangkabau
Sekitar 17 Kilometer dari Istana Basa Pagaruyung, terdapat sebuah nagari tuo yang dalam tambo disebut sebagai nagari asal – usul orang Minangkabau. Nagari itu bernama Nagari Pariangan.
Ya, tujuan kami selanjutnya usai mengunjungi Istana Basa Pagaruyung ialah menuju Nagari Pariangan. Kami sangat tertarik sekali dengan desa yang berada di kaki Gunung Marapi ini. Nagari Pariangan mulai dikenal sebagai destinasi wisata semenjak ia dinobatkan sebagai salah satu desa terindah di dunia oleh Travel Budget, sebuah media pariwisata berpengaruh di dunia asal Amerika Serikat.
Sekitar 30 menit berkendara, kami tiba di pintu masuk Nagari Pariangan yang berbentuk atap bagonjong. Memasuki Nagari Pariangan kami langsung disambut oleh pemandangan hamparan sawah yang luas, namun sayangnya langit sedang mendung sehingga Gunung Marapi tak terlihat. Jika cerah pasti pemandangannya lebih keren lagi.
Cagar budaya yang kami kunjungi pertama kali ialah Sawah Gadang Satampang Baniah yang dipercaya sebagai sawah pertama di Minangkabau. Sawah itu dibuka dimulai dengan bercocok tanam menggunakan seikat benih.
Tepat diseberangnya ada cagar budaya “Lurah Indah Baria, Lubuak Siguntang – guntang, Bukik Indak Barangin” yang dipercaya sebagai sumber air untuk mengairi Sawah Satampang Baniah. Keberadaan keduanya masih dijaga oleh masyarakat sekitar dengan tidak membangun apapun di atas lahan tersebut.
Kami pun memutar balik kendaraan dan berhenti tepat di Makam Datuk Tantejo Gurhano yang dikenal dengan sebutan Kuburan Panjang, sebab kuburan ini memiliki panjang sekitar 25,5 meter. Datuk Tantejo Gurhano merupakan tokoh arsitek pembuatan Balairung Sari Tabek.
Baca Juga : Balairung Sari Tabek, Wujud Harmoni Budaya Bermusyawarah Masyarakat Minangkabau
Tepat diseberang makam Datuk Tantejo Gurhano ada sebuah jalan masuk menuju Masjid Al Ishlah yang beraksitektur tradisional dan menyerupai pagoda yang bertingkat.
Baca Juga : Masjid Ishlah Nagari Tuo Pariangan
Di dekat masjid tersebut terdapat tempat pemandian berupa pancuran air panas. Tempat mandi dengan pemisahan ruang bagi laki – laki dan perempuan memiliki dua pancuran di setiap biliknya. Tersedia air panas dan air dingin, sehingga sensasi panas tidak sampai menyakiti kulit karena airnya menjadi cenderung hangat.
Sampai saat ini masih banyak warga yang menggunakan lokasi pemandian untuk keperluan sehari – hari. Kami melihat anak kecil, tua dan muda berjalan membawa ember kecil berisikan perlengkapan mandi seperti sabun, sampo dan sikat gigi menuju tempat pemandian. Wah asik banget ya kelihatannya, pas banget dengan suasana dingin di Nagari Pariangan.
Kunjungan kami ke Nagari Pariangan membuat kami mengerti mengapa ia bisa mendapatkan predikat desa terindah di dunia. Hingga saat ini kami masih bisa melihat keasrian dan warisan leluhur yang masih terjaga apik, yang menjadi ciri dan identitas budaya Sumatera Barat. Jika kamu memiliki kecintaan akan budaya, maka Nagari Pariangan sangat cocok untuk dieksplore!
Comments