Sawahlunto, awalnya kota ini hanyalah sehamparan sawah di tengah cekungan lembah yang dialiri Sungai Lunto. Semua berubah ketika “emas hitam” ditemukan oleh seorang geolog muda asal Belanda Willem Hendrik de Greve. Ia berhasil menemukan lokasi – lokasi yang mengandung batu bara. Setelah de Greve meninggal pada tahun 1872. Ekspedisi dilanjutkan oleh RDM Verbeek tahun 1875 mengacu pada laporan de Greve.
Dari hasil ekpedisi yang dilakukan Verbeek, ia menaksir jumlah cadangan batu bara yang ada di Sawahlunto paling sedikit 200 juta ton! Jumlah yang sangat fantastis dan sangat menggembirakan bagi Hindia Belanda.
Kegiatan penambangan dimulai, Pemerintah Hindia Belanda menginvestasikan uang sejumlah 5,5 juta Gulden untuk pembangunan fasilitas perusahaan tambang batu bara. Dalam sekejap sehamparan sawah yang dulunya sepi itu berubah menjadi pemukiman pekerja tambang pada tahun 1887. Ribuan orang pekerja didatangkan, pada awalnya pekerja yang didatangkan berasal dari kalangan narapidana yang berasal dari penjara – penjara kolonial seperti penjara Muara Padang, Penjara Cipinang, dan Penjara Glodok. Beberapa dari tahanan yang dianggap berbahaya dikalungkan rantai besi yang melingkari pergelangan tangan dan kaki mereka. Ahli sejarah menyebut mereka “urang rantai”
Karena tidak cukup juga tenaga kuli dari kalangan narapidana, lowongan kerja kemudian dibuka secara besar – besaran. Dengan sistem kontrak, para kuli didatangkan dari Jawa, Bali, Madura, dan Bugis untuk menggali emas hitam dari perut bumi Sawahlunto.
Aktivitas pertambangan yang mendatangkan ribuan pekerja dari berbagai asal daerah menjadikan kota Sawahlunto memiliki keberagaman ras dan kultur. Tidak hanya itu, dari lubang – lubang galian batu bara itu, bahasa baru tercipta. Sebuah bahasa hasil dari pencampuran bahasa Jawa, Sunda, Madura, Bali, Bugis, Batak, China, Minangkabau, Belanda, dan Bahasa Melayu sebagai bahasa dasar. Bahasa ini disebut sebagai Bahasa Tansi.
Itulah sekilas sejarah tentang Sawahlunto, sangat menarik bukan? Dan masih banyak lagi cerita sejarah yang tersaji di kota ini.
Bunyi suara adzan merambat dari pengeras suara di Masjid Agung Nurul Iman hingga terdengar ke seantero Kota Sawahlunto. Kami terbangun, bergegas merapikan tenda dan memasukan semua barang – barang perlengkapan ke dalam tas keril. Setelah semuanya siap kami beranjak dari Puncak Cemara menuju suara adzan itu berasal. Dengan terkantuk – kantuk kami ke tempat wudhu, membasuh telapak tangan, wajah, hingga kaki sesuai dengan rukun wudhu yang diajarkan.
Iqamah dikumandangkan, kami bersama umat muslim lainnya mulai merapatkan shaf. Shalat shubuh di pagi itu pun berjalan dengan khidmat. Usai shalat kami menuju teras masjid, hari masih gelap dan mata masih terkantuk sebab kami masih kurang tidur. Saya pun tertidur nyenyak hingga Alwan membangunkan saya.
“bang.. bang.. sudah terang, bang. Ayo lanjut” kata Alwan sembari menguncang – guncangkan tubuh saya untuk mengembalikan jiwa saya yang berada di alam mimpi kembali ke jasad yang ada di dunia.
Saya terbangun, hari memang sudah terang, namun awan mendung menggantung di Kota kecil ini, tak lama kemudian turun rinai hujan yang membasahi seluruh penjuru kota. Pagi, dingin, gerimis dan rasa malas adalah perpaduan yang sangat pas untuk menghabiskan waktu di suasana kala itu, namun kami tidak sedang dirumah, kami sedang dalam perjalanan, bermalas – malasan bukan hal yang tepat untuk dilakukan.
Saya bergegas menuju kamar mandi yang banyak tersedia di masjid yang dulunya adalah PLTU ini. Selama perjalanan ini kami mandi secara bergantian, jika saya sedang mandi maka Alwan yang akan menjaga barang – barang dan sebaliknya.
Mandi pagi memang menyegarkan, rasa malas telah pergi dari tubuh. Ketika kami hendak meninggalkan masjid dan memulai mengeksplore Kota Sawahlunto, tiba – tiba kami dipanggil para jamaah masjid. Ternyata mereka sedang mengadakan sarapan bersama dalam rangka menyambut para tamu masjid yang berasal dari Sri Lanka yang berjumlah 9 orang.
“Alhamdulillah, ini namanya rezeki, ayo kita gabung, wan” kata saya
Makan pagi itu sangat nikmat dengan penyajian ala pesantren yaitu makan bersama dalam satu wadah nampan besar berisikan nasi goreng serta lauk telur dadar dan tempe. Usai sarapan bersama kami sempat berbincang – bincang dengan para jamaah masjid. Umumnya mereka menanyakan dari mana asal kami dan tujuan kedatangan kami.
Matahari semakin naik, gerimis mulai reda, kami pun pamitan kepada mereka. Eksplore Sawahlunto dimulai!
Comments