Penjelajahan saya keliling Sumatera Barat tidak sepenuhnya berjalan mulus, terkadang ada saja hambatannya. Entah itu cuaca buruk di tengah jalan, ban yang tiba – tiba bocor dan terkena hukuman tilang!
Untuk kasus yang terakhir, saya baru sekali mengalaminya. Cerita bermula ketika saya hendak kembali ke Padang usai sehari sebelumnya menjelajahi peninggalan budaya yang ada di Batusangkar.
Rencana awal saya adalah dari Batusangkar saya akan melewati Jalan Raya Batusangkar yang nantinya akan tembus ke Jalan Ahmad Yani yang berada di tepian Danau Singkarak.
Namun saya yang tidak begitu menguasai kondisi Jalan di Kota Batusangkar melakukan kesalahan yaitu masuk ke jalan yang sebenarnya hanya diperbolehkan untuk satu arah. Apesnya lagi jalan tersebut tepat berada di depan kantor Satlantas Polres Tanah Datar.
Alhasil dua orang polisi lalu lintas yang sedang bertugas memberhentikan laju saya. Salah satu diantaranya langsung mematikan motor dan mengambil kuncinya.
“ayo ikut saya ke kantor” kata Pak Polisi yang saya lupa namanya
Saya dibonceng ke kantor Satlantas Polres Tanah Datar, sementara itu motor saya di bawa oleh rekannya.
Sewaktu dibonceng tersebut jantung saya berdetak begitu kencang. Nampaknya saya akan terkena hukuman tilang.
Saya pun diajak menghadap ke polisi lainnya, nah kalau yang ini saya ingat namanya Pak Rivaldo. Di mejanya telah tersedia slip tilang yang akan ditulis nama saya serta nomor surat kendaraan.
“kamu tahu kesalahan kamu?” tanya Pak Rivaldo
“tahu, Pak. Tapi saya tak tahu kalau jalan ini adalah satu jalur, pak” jawab saya disertai pembelaan
“Kamu ini gimana? Masa’ gag tahu, Kawasan ini kan Kawasan Tertib Lalu Lintas, bagaimanapun alasan kamu, kamu harus ditilang. Kamu harus mengikuti persidangan yang jadwalnya 3 hari ke depan”
“saya beneran gag tahu, pak. Saya bukan orang sini” saya terus membela diri
“memangnya kamu darimana dan apa keperluan kamu disini?” Pak Rivaldo jadi kepo sama saya
“Saya dari Jakarta, Pak. Saya ini travel blogger, saya datang kesini untuk mengunjungi berbagai peninggalan budaya di Batusangkar yang nantinya saya jadikan catatan perjalanan, pak. Saya ingin mengenalkan Sumbar ke banyak orang dan saya harus pulang ke Padang siang ini karena besok saya akan kembali ke Jakarta, Pak” keren banget kan penjelasan saya.
“oh jadi begitu, baiklah, karena kamu bukan orang sini dan karena memang tidak tahu kalau jalan di depan itu satu arah, kamu saya maafkan” akhirnya Pak Rivaldo memaafkan kesalahan saya
“tapi ingat, jangan diulang. Ya sudah, kamu bisa melanjutkan perjalanan, tapi hati – hati ya”
Saya pun berterima kasih kepada Pak Rivaldo dan berpamitan kepadanya juga kepada dua polisi yang tadi memberhentikan saya.
Menuju Nagari Sumpur
Saya kembali ke jalan. Seperti rencana awal tadi, saya akan menuju jalan yang berselisihan langsung dengan Danau Singkarak yang merupakan danau terbesar di Sumatera Barat.
Kondisi jalan menurun dengan banyak kelokan, di sisi kiri jalan terdapat sungai yang berair jernih namun airnya sangat deras.
Akhirnya saya tiba di simpang Ombilin, tepat di hadapan saya membentang Danau Singkarak dengan airnya yang kebiruan.
Awalnya saya hanya hendak melintasi jalan ini saja hingga nanti sampailah saya di Padang Panjang. Namun saat saya melihat Google Maps terlihat nama sebuah nagari yaitu Nagari Sumpur.
Secara administratif Nagari Sumpur termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Batipuh Selatan, Kabupaten Tanah Datar. Nagari ini terletak tepat di tepi Danau Singkarak.
Sepertinya menarik jika saya singgah dulu kesana sebelum meneruskan perjalanan ke Padang. Saya pun mengarahkan kendaraan kesana.
Jalannya cukup sempit, jika ada dua mobil yang saling berselisihan maka salah satunya harus ada yang mengalah. Di kanan kiri jalan tumbuh subur pohon sawo dan alpukat.
Saya melihat bangunan yang mencolok karena berukuran besar dengan atap gonjong khas Minangkabau. Bangunan tersebut adalah Hotel Singkarak Sumpur yang dibangun hanya sejengkal dari bibir Danau Singkarak. Di dalamnya terdapat kolam renang bagi tetamunya.
Dan saya pun telah memasuki Nagari Sumpur.
Disini banyak Rumah Gadang yang sayangnya dalam kondisi kurang terawat, beberapa diantaranya bahkan sudah rubuh.
Suasana sore di Nagari Sumpur begitu tenang dan sepi. Tak banyak orang saya jumpai saat itu.
Karena saya belum salat, saya mencari mushala atau masjid. Pandangan saya tertuju pada sebuah mushala yang berada di posisi yang lebih tinggi dari jalan utama. Saya arahkan motor menuju mushala tersebut.
Ternyata dari tempat ini saya bisa menyaksikan pemandangan yang Indah. Sawah yang telah menguning berpadu dengan pepohonan kelapa dan birunya air Danau Singkarak.
Pemandangan yang membuat saya cukup terlena dan melupakan cerita hampir ditilang di Batusangkar yang menimpa saya siang tadi.
Setelah menjalani salat, saya masih ingin menikmati suasana indah ini. Angin yang turun merambat membuat saya betah untuk tertegun di satu tempat.
Tak lama kemudian datang beberapa orang lokal yang baru saja pulang dari ladangnya, mereka bertegur sapa dengan saya. Salah satu diantara mereka ada yang membawa setangkai penuh pisang. Saya sempat berbincang sesaat dengan mereka.
“kalau mau pemandangan yang lebih indah lagi, pergi ke sebelah situ, yang ada batu besar itu” kata salah seorang diantara mereka
Angin makin terasa dingin di tubuh, langit pun semakin berwarna kelam. Dan saya harus segera beranjak dari Nagari Sumpur yang indah ini. Suatu saat saya akan kembali kesini dan menghabiskan lebih banyak waktu disini.
Oh ya, sekedar informasi untuk kalian yang telah membaca cerita ini. Di Nagari Sumpur terdapat Rumah Gadang yang bisa disewa untuk menginap. Tarifnya mulai dari Rp 250 ribu. Kalian akan mendapatkan sensasi menginap di rumah khas Minangkabau, selain itu anda juga diajak untuk berburu sunrise serta aktivitas menarik lainnya di tepi Danau Singkarak.
Tertarik untuk mencobanya?
Silahkan klik Paket Tour Menginap di Rumah Gadang Nagari Sumpur
Comments