“kalau kamu suka dengan wisata sejarah dan budaya, datanglah ke Nagari Pariangan. Dari sini sekitar 17 kilometer. Menurut Tambo, nagari itu ialah tempat asal usul orang Minangkabau” kata Wilma, local guide di Istana Basa Pagaruyung.
Semenjak mendapatkan informasi tersebut, saya mulai mencari – cari informasi mengenai Nagari Pariangan. Ternyata, pada tahun 2012 Nagari Pariangan dinobatkan sebagai salah satu desa terindah di dunia versi Travel Budget Magazine. Hal ini tentu saja menambah keinginan saya untuk segera menemuinya.
Satu bulan setelah perbincangan saya degan Wilma, saya kembali ke Padang. Niat saya ke Padang tentunya untuk mengunjungi Nagari Pariangan.
Saya menghubungi Wilma dan memintanya menemani saya selama di Pariangan. Gayung bersambut, ia memenuhi permintaan saya. Olehnya saya diberikan informasi petunjuk arah menuju Pariangan.
“nanti kalau kamu sudah tiba di Simpang Karambia, ambil ke kiri yang ke arah Batusangkar. Kita nanti berjumpa di depan pintu masuk Nagari Pariangan” pesan Wilma melalui WhatsApp.
Dengan sepeda motor matic, saya menuju Pariangan. Menempuh perjalanan lebih dari 90 kilometer. Perjalanan yang tidak mudah, sebab di tengah perjalanan ada saja hambatan seperti ban yang bocor dan diguyur hujan di Lembah Anai, membuat saya harus berhenti untuk berteduh.
Baca juga : Sebelum ke Bukittinggi, Singgah Dulu di Lembah Anai
Akhirnya saya tiba di gapura Nagari Pariangan 3,5 jam kemudian. Disini saya menunggu kedatangan Wilma. Sekitar 10 menit, ia pun datang bersama adiknya.
Kami pun memulai penjelajahan ini. Memasuki kawasan Nagari Pariangan, saya terasa diajak bernostalgia mengenang kembali sejarah berabad – abad lalu melalui beberapa peninggalan bersejarah.
Disini banyak bangunan – bangunan lama yang memiliki nilai sejarah seperti kuburan batu, peninggalan batu dari zaman megalithikum. Tak hanya itu, nagari ini memiliki panorama alam yang memuka berupa sawah padi yang tumbuh subur bertingkat – tingkat. Bila cuaca sedang cerah, maka kita akan mendapatkan latar puncak Gunung Marapi.
Sawah Satampang Baniah dan Lurah Indah Baraia
Lokasi pertama yang kami kunjungi ialah Sawah Gadang Satampang Baniah dan Lurah Indah Baraia. Walaupun lokasi ini hanyalah sepetak tanah yang kala itu sedang ditumbuhi rerumputan liar, ternyata ia memiliki cerita menarik dan berhubungan dengan kisah asal usul nenek moyang orang Minangkabau.
Dalam Tambo diceritakan, perahu yang mengantarkan rombongan Sri Maharajo Dirajo mendarat di Pulau Perca, tepatnya di puncak Gunung Marapi. Kemudian Sri Maharajo Dirajo dan rombongan turun ke darat. Sementara air laut pun beranjak surut.
Selang berapa lama kemudian rombongan Maharajo Dirajo turun ke sebuah tempat yang disebut Labuhansi Tambago. Jaraknya sekitar dua kilometer dari Nagari Pariangan kea rah Puncak Marapi. Di tempat inilah untuk pertama kalinya rombongan itu menemukan sawah yang disebuh sawah Satampang Baniah. Padi inilah yang kemudian menyebar ke seluruh Minangkabau.
Dari Sawah Gadang Satampah Baniah, kami beranjak ketempat lainnya yaitu Balai Saruang yang dulunya merupakan tempat bersidang. Segala sesuatu yang berkaitan dengan pemerintahan adat dan kepentingan rakyat di musyawarahkan dibalai ini.
Dan inilah yang paling saya sukai selama berada di Nagari Pariangan yaitu menelusuri pemukiman di wilayah nagari ini. Permukiman ini bebukit – bukit sehingga dibuatlah jalan berbentuk tangga sebagai akses yang digunakan masyarakat untuk berlalu – lalang.
Saya takjub melihat masih banyaknya peninggalan – peninggalan berupa rumah gadang yang telah berusia ratuhan tahun, namun sayangnya karena telah dimakan usia dan kurangnya perawatan, banyak dari rumah gadang yang saat ini kondisinya rusak berat.
Masjid Al Ishlah Pariangan
Di bagian tengah nagari ini terdapat Masjid Ishlah. Masjid ini dibangun dengan gaya arsitektur dongson ala dataran tinggi Tibet. Hal ini bisa kita lihat dari bentuk atapnya yang lebih menyerupai bangunan – bangunan yang ada di dataran tinggi Tibet. Meski telah berusia ratusan tahun, masjid ini masih berdiri kokoh dan memberi pesona. Selain itu, bangunan masjid ini menggambarkan betapa majunya peradaban Minangkabau tempo dulu.
Baca juga : Masjid Ala Tibet di Nagari Pariangan
Berdekatan dengan Masjid Ishlah, terdapat pemandian berupa pancuran air panas. Tempat mandi dengan pemisah ruang bagi laki – laki dan perempuan itu memiliki dua pancuran di setiap biliknya. Tersedia pancuran untuk air panas dan air dingin. Warga disini menggunakan lokasi pemandian untuk keperluan sehari – hari, namun bagi pengunjung juga diperkenankan untuk mencoba sensasi air hangatnya yang sangat memanjakan tubuh.
Tepat di seberang masjid terdapat situs Prasasti Pariangan. Namun akibat perubahan cuaca dan kurangnya perawatan, permukaan batu dan prasasti mulai memudar, warnanya berubah, dan tertutup lumut. Pada situs tersebut pun tidak terdapat keterangan yang bisa dibaca oleh pengunjung. Karena minimnya informasi, kami pun beranjak dari sana mencari tempat lain yang sekiranya menarik dikunjungi.
Dari banyaknya rumah gadang yang ada di Nagari Pariangan, ada satu yang menarik perhatian kami yaitu rumah gadang yang lokasinya berseberangan dengan makam panjang Tantejo Gurhano. Kedatangan kami disambut oleh seorang bapak yang saat itu sedang bersih – bersih di halaman rumah gadang itu.
Bapak Syafroni namanya, beliau mempersilahkan kami masuk ke dalam rumah yang telah dibangun sejak tahun 1938 ini. Walau sudah tua, rumah gadang ini tetap menampakkan keindahannya. Rumah gadang ini masih menyisakan kompleks rumah yang lengkap. Selain bak cuci kaki dibawah, di depan rumah gadang ini terdapat rangkiang yaitu tempat untuk penyimpanan padi. Terdapat tangga dua sisi untuk memasuki rumah ini.
Rumah ini tampak dibuat oleh orang kalangan atas, bisa dilihat dari pintu masuk kamarnya yang terbuat dan berbentuk sangat indah. Pada pintu kamar terdapat kaca lukis yang menggambarkan merak dan bunga. Di ruang utama terdapat beberapa lemari yang menempel masuk kedalam bangunan, lemari tersebut disebut lemari lakek yang merupakan khas Pariangan. “Rumah gadang ini rumah kebesaran saya dan kaum Suku Pisang di Nagari Tuo” kata Pak Roni. “Rumah ini berfungsi sebagai tempat musyawarah Suku Pisang” lanjutnya.
Puas mengetahui isi dan cerita tentang rumah gadang tersebut kami pun berpamitan kepada Pak Roni. Tujuan kami selanjutnya adalah Kuburan Panjang Datuk Tantejo Gurhano. Datuk Tantejo Gurhano merupakan tokoh arsitek pembuatan Balairung Sari Tabek. Ukuran kuburannya sangat panjang yaitu 25,5 m X 7 m sehingga terkenal dengan nama kubur panjang. Konon tiap orang yang mengukur panjang kuburan ini selalu mendapatkan hasil yang tidak sama.
Puas sekali rasanya bisa menjelajahi dan mempelajari tentang asal usul nenek moyang orang Minangkabau. Tak hanya sekedar perjalanan tetapi juga memberikan banyak pelajaran.
Comments