Matahari telah berada di tengah bumi, usai saya melibas semua kelokan tajam berjumlah 44 atau yang biasa dikenal dengan kelok 44 (kelok ampek puluah ampek). Kini saya berada di persimpangan jalan. Jika mengambil ke kanan, jalan mengarah ke Lubuk Basung, ibukota kabupaten Agam. Sedangkan jika ke kiri? Saya tak tahu, saya belum pernah melewatinya. Dengan rasa penasaran saya mengarah ke kiri, mengikuti alur jalan ini hingga tibalah saya di Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka yang berada di wilayah Nagari Sungai Batang, Kecamatan Tanjung Raya.
Saya memarkirkan sepeda motor, saat itu telah ada dua mini bus yang sudah berada terlebih dahulu di area parkir. Mini bus ini membawa wisatawan asal Malaysia. Ya, Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang lebih dikenal dengan Buya Hamka ialah seorong tokoh politik, ulama terpandang dan sastrawan. Beliau sangat dihargai oleh banyak orang dari berbagai bangsa dan negara. Wisatawan asal Malaysia biasanya selalu memasukan Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka sebagai destinasi yang harus dikunjungi saat mengikuti Tour Minangkabau.
Bangunan Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka berdiri tepat menghadap ke Danau Maninjau dan berada di ketinggian sekitar 5 meter di pinggir jalan. Sehingga bagi siapapun yang ingin masuk ke dalamnya harus menaiki beberapa anak tangga.
Dari pekarangan depan bangunan bercorak rumah adat itu tergambar jelas bentangan Danau Maninjau, tanpa ada penghalang apa pun.
Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka berisi koleksi-koleksi sederhana peninggalan Hamka,seperti, buku-buku karyanya, tanda-tanda penghargaan, lukisan dan foto-foto aktivitas beliau sejak masih anak-anak sampai saat pemakamannya.
Ada juga tempat tidur dimana mantan Ketua MUI itu dilahirkan, kursi-kursi tua, koper kalau ia pergi merantau dan tongkat melengkapi koleksi. Walaupun sejak masih muda beliau sudah merantau, penulis novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” itu sangat cinta dengan kampung halamannya yang indah dan damai serta keinginannya untuk pulang.
Dikutip dari buku kenang – kenangan Buya Hamka, beliau mengatakan “saya sangat terkesan dengan desa kelahiran saya, saya sudah berkeliling dunia tapi rasanya tidak ada pemandangan yang seindah pemandangan Maninjau. Desa itu pun mempunyai arti penting bagi hidup saya, begitu indahnya seakan – akan mengundang kita untuk melihat alam yang ada di balik pemandangan itu.
Berkunjung ke museum ini rasanya seperti mendalami perjuangan Buya Hamka. Disini tidak ada biaya masuk dan kita bisa membantu kelestarian museum ini dengan membeli karya – karya beliau yang dijual di museum.
Comments