Jika ditanya tentang museum kereta api yang ada di Indonesia maka sebagian besar masyarakat akan menjawab Museum Kereta Api Ambarawa yang berada di Jawa Tengah. Hal ini wajar, karena Museum Kereta Api Ambarawa adalah museum pertama yang bertemakan tentang sejarah perkeretaapian di Indonesia. Namun, sejak tahun 2005 Indonesia telah memiliki museum kereta api yang kedua yang berada di Sawahlunto, museum tersebut adalah Museum Kereta Api Sawahlunto
Museum Kereta Api Sawahlunto berada di Jalan Kampung Teleng, Kelurahan Pasar, Kecamatan Lembah Segar, Kota Sawahlunto, Sumatera Barat. Museum ini dulunya adalah sebuah stasiun kemudian pada 17 Desember 2005 dialih fungsikan sebagai museum dan diresmikan oleh Bapak Jusuf Kalla yang waktu itu menjabat sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia.
Untuk berkunjung ke Museum Kereta Api Sawahlunto tiap pengunjungnya hanya dikenakan tiket masuk sebesar Rp 3.000 dan untuk jam bukanya adalah pada 08.00 – 17.00 tiap hari kecuali hari Senin dimana saat hari itu museum ditutup untuk keperluan perawatan.
Saat saya tiba di Sawahlunto, waktu telah melewati pukul 5 sore sehingga museum telah ditutup, keesokan paginya saya kembali lagi agar saya bisa mengenali museum ini beserta sejarahnya. Kedatangan saya disambut senyum manis petugas museum, saya pun langsung membayar tiket masuk terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam museum yang merupakan sebuah bangunan yang berada di dalam Stasiun Kereta Api Sawahlunto.
Di dalam museum terdapat ruangan audio – visual yang saat itu nampak sepi, hanya saya seorang namun meski demikian petugas museum tetap menyalakan video yang berisikan tentang sejarah Museum Kereta Api Sawahlunto untuk saya, dari video itulah saya menjadi lebih banyak tahu tentang sejarah museum ini.
Keberadaan Stasiun Sawahlunto berkaitan erat dengan aktivitas penambangan batubara yang dilakukan secara besar – besaran oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Untuk memperlancar pengangkutan batubara, Pemerintah Kolonial Belanda memutuskan membangun jalur kereta api sepanjang 150 kilometer dari Pelabuhan Emmahaven (Teluk Bayur) ke Sawahlunto dengan melintasi Lembah Anai dan menyusuri Danau Singkarak. Pembangunan jalur kereta ini dilakukan Sumatra Staats Spoorwegen atau perusahaan kereta api negara Sumatera mulai tahun 1891 dan selesai seluruhnya pada tahun 1894.
Selama lebih dari 100 tahun Stasiun Sawahlunto merupakan stasiun yang sibuk demi kepetingan pengangkutan batubara, setidaknya pada saat itu untuk sekali pengangkutan mampu menarik 200 gerbong berisikan batubara berkualitas terbaik. Pada awal tahun 2000an terjadi kemerosotan yang sangat tajam terhadap hasil tambang batu bara dan puncaknya pada tahun 2003 pengangkutan batubara dengan kereta api dihentikan.
Usai menyaksikan video sejarah museum kereta api Sawahlunto, saya mulai melihat – lihat koleksi yang berada di dalam museum ini diantaranya adalah jam, alat – alat sinyal atau komunikasi, miniature lokomotif, brankas, dongkrak rel, label pabrik pembuatan lokomotif, timbangan, lonceng penjaga, baterai lokomotif serta foto dokumentasi yang tersusun secara apik menghiasi dinding museum ini.
Setelah puas melihat semua koleksi yang ada di dalam museum, saya pun keluar untuk melihat – lihat suasana di sekitar stasiun. Di depan stasiun terdapat patung Dr. J.W Ijzerman yang merupakan seorang insinyur utama jawatan kereta api Belanda yang sangat berpengaruh dibalik pembangunan jalur kereta api di Hindia Belanda.
Di samping museum terdapat depo tempat disimpannya loko uap dengan nomor seri E1060 buatan Jerman yang akrab disebut Mak Itam, saat dipulangkan dari Museum Kereta Api Ambarawa pada tahun 2008, Mak Itam kembali dihidupkan sebagai salah satu obyek wisata andalan Sawahlunto untuk mengenang kejayaan industri batubara yang pernah ada di kota kecil ini, wisatawan akan diajak berjalan diatas rel dengan rute Sawahlunto ke Muara Kalaban yang berjarak sekitar 8 Km, rute ini akan melewati sebuah terowongan yang lebih dikenal dengan sebutan Lubang Kalam yang berjarak sekitar 500 meter dari Stasiun Sawahlunto, terowongan ini memiliki panjang sekitar 800 meter.
Namun sejak tahun 2013, Mak Itam tidak lagi menjerit, berbagai upaya telah dilakukan agar Mak Itam kembali hidup namun rusaknya 12 pipa pemanas membuat tekanan upa yang dihasilkan dari pembakaran batu bara tidak cukup menggerakkan roda lokomotif. Akhirnya saat ini wisatawan hanya bisa melihat Mak Itam dibalik jeruji besi.
Comments