Di akhir tahun 2016, saya telah menuliskan tentang resolusi di tahun 2017 yakni Mengunjungi Seluruh Taman Nasional di Pulau Jawa.
Saya tidak sabar ingin segera memulainya sehingga di penghujung 2016 atau tepatnya 31 Desember 2016, saya berencana untuk mengisi pergantian tahun baru dengan mengunjungi Taman Nasional Gunung Halimun Salak.
Taman Nasional Gunung Halimun Salak ini sangat luas bahkan menjadi yang terluas di Pulau Jawa, sehingga dengan libur hanya dua hari, saya harus menentukan resort atau destinasi apa yang hendak dikunjungi.
Di saat libur tahun baru tentunya semua destinasi wisata yang ada di negeri ini penuh riuh dengan kedatangan wisatawan yang hendak menutup tahun yang lama dan membuka lembaran di tahun baru di suatu tempat yang dianggap menyenangkan. Tak terkecuali dengan Taman Nasional Gunung Halimun Salak.
Dengan luasnya yang mencapai 113.356 ha dan meliputi dua provinsi yakni Jawa Barat dan Banten serta berada di tiga wilayah kabupaten yakni Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Lebak. Tentunya Taman Nasional ini memiliki banyak destinasi menarik dan pastinya juga akan dibanjiri oleh wisatawan.
Perkiraan saya salah satu tempat di Taman Nasional Gunung Halimun Salak yang akan ramai di kala libur tahun baru ini adalah Kawasan Wisata Gunung Salak Endah dimana terdapat banyak sekali air terjun cantik dan menyegarkan. Selain itu disini juga terdapat banyak bumi perkemahan dengan akses jalan yang bisa dikatakan cukup baik sehingga mudah untuk dijangkau oleh wisatawan.
Maka Kawasan Wisata Gunung Salak Endah tidak menjadi pilihan saya. Saya ingin ke sebuah tempat di TNGHS yang masih jarang orang kunjungi, saya ingin mencari sepi di saat langit – langit berhiaskan kembang api berwarna – warni. Lalu hendak kemanakah saya?
Dari berbagai referensi yang saya baca mengenai potensi wisata alam di TNGHS akhirnya saya memutuskan untuk mengunjungi Desa Cikaniki – Citalahab yang juga berada di TNGHS tepatnya di bagian Gunung Halimun. Katanya disana masih terbilang sepi dari kunjungan wisatawan. Mengapa? Saya masih belum tahu, untuk itulah saya kesana, sepertinya menarik.
Menuju Gunung Halimun
Terdapat dua akses menuju kawasan Gunung Halimun yaitu Dari Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sukabumi. Awalnya saya memilih melalui jalur Sukabumi karena sepertinya lebih mudah diakses.
Namun berdasarkan pengamatan dari Google Maps mengenai Jalur Bogor dan Sukabumi terdapat perbedaan yang sangat signifikan yaitu jarak tempuh. Jalur melalui Bogor jauh lebih dekat dari rumah saya di Kebon Jeruk, Jakarta.
“Rumah urang di Parung Kuda, nah kalau mau ke Kabandungan (Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak) masih jauh lagi, kira – kira dua jam lagi lah” kata Mas Nanda, rekan kerja yang duduk bersebelahan dengan saya, ia adalah orang Sukabumi asli jadi lebih mengerti mengenai akses jalan.
Well, saya akan melalui Jalur Bogor. Jarak tempuh yang ditunjukkan oleh google maps dari rumah saya ke Stasiun Penelitian Cikaniki TNGHS adalah 95 Km dan “katanya” bisa ditempuh dalam waktu 3 jam 38 menit.
Dengan mengucapkan basmallah, saya mulai melaksanakan Resolusi 2017
Check Point saya yang pertama adalah Kampus IPB Dramaga, disana saya akan menjemput seorang teman yang juga tertarik dengan misi menjelajahi Taman Nasional yang ada di Indonesia.
Rute menuju Kampus IPB Dramaga dari rumah saya adalah Jalan Panjang – Pondok Indah – Lebak Bulus – Ciputat – Parung – Semplak – Kampus IPB Dramaga yang saya tempuh 2 jam perjalanan.
Dari Kampus IPB Dramaga saya melanjutkan perjalanan menuju Gunung Halimun, perjalanan tidak sepenuhnya lancar. Setidaknya kami melewati dua titik kemacetan yaitu di simpang tiga menuju Kawasan Wisata Gunung Salak Endah dan Pasar Leuwiliang. Kemacaten menuju Kawasan Wisata Salak Endah didominasi oleh kendaraan pribadi asal Jakarta.
Dugaan saya benar, bahwasanya Kawasan Wisata Salak Endah akan ramai dikunjungi wisatawan, beruntunglah saya tidak menjadikannya sebagai pilihan sebagai penutup tahun.
Leuwiliang telah terlewati
“in one hundred meters turn left” begitu suara yang keluar dari google maps.
Saya memelankan laju motor, tepat di sebuah Tugu Kujang Mini saya mengambil arah kiri yang menurun. Dari sini dan seterusnya kami melewati jalan perkampungan yang mulai menanjak dan berkelok – kelok.
Jangan Terlalu Percaya GPS
Secanggih apapun teknologi penunjuk jalan yang telah tercipta namun tetaplah yang paling canggih adalah peribahasa yang diajarkan oleh orang tua kita dari dulu, “Malu Bertanya Sesat Dijalan”. Karena terlalu percaya dengan arah jalan yang ditunjukkan google maps kami memilih jalan yang ternyata tidak sesuai dengan motor yang kami gunakan.
Jalan tersebut membelah perbukitan, tidak ada aspal, ia hanya berupa batu – batu besar yang diatur sedemikian rupa, para pecinta touring menyebutnya jalan makadam. Hal ini tentunya menyulitkan saya yang membawa motor matic Honda Vario 125 CC.
Awalnya tanjakan dan turunan masih bisa dilewati dengan sangat hati – hati, hingga tibalah di sebuah tanjakan yang masih didominasi tanah merah yang licin di kala musim hujan seperti saat ini. Meski kawan saya sudah turun dan berusaha membantu mendorong tetap saja motor ini tidak sanggup.
Sempat bertanya kepada seorang bapak yang sedang menyadap getah pinus mengenai jalan selanjutnya, katanya jalannya lebih menanjak dan lebih parah lagi. Ia pun menyarankan agar kami memutar balik dan mengambil jalan via Cibeber.
Kami menurutinya, kami “terpaksa” memutar balik dan mencari jalan yang bersahabat dengan motor yang kami bawa.
Kini kami telah tiba di jalan menuju Cibeber, jalan masih menanjak dan berkelok – kelok. Tingginya curah hujan membuat aspal jalan disini mudah hancur, banyak sekali lubang – lubang besar menganga, membuat saya tetap harus fokus dan hati – hati.
Tiba di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak
Ah, akhirnya. Kami tiba di pintu masuk Taman Nasional Gunung Halimun Salak, seorang bapak paruh baya yang sedari tadi ditemani sepi disebuah pos menyambut kedatangan kami.
“Mau kemping ya? Masih 16 Km lagi dari sini, ini tiket masuknya, Rp 5.000 per orang” kata bapak itu
Setelah membayar retribusi kami teruskan perjalanan. Awal perjalanan dari pintu masuk begitu menyenangkan karena jalannya berupa cor beton yang masih baru. Saya sangat senang karena biasanya jalan di kawasan Taman Nasional itu parah banget keadaannya.
Dan ternyata, rasa senang saya hanya bertahan sampai 2,5 Km dari pintu masuk, setelah jalan cor beton kini beralih ke jalan aspal yang keadaannya sudah rusak parah, lubang besar sana sini.
Dari pemandangan hutan, setelah 8 Km dari pintu masuk terhampar luas Perkebun Teh Nirmala yang sudah ada sejak zaman Kolonial Belanda. Kami sempat berfoto terlebih dahulu untuk menyaksikan keindahan kebun teh.
Jalan aspal sekarang menjadi jalan berbatu atau makadam dan jalan yang menyiksa bagi motor saya ini harus ditempuh sejauh 4 Km. Meski menyiksa pemandangan kebuh teh ini cukup mengobati.
Ada pemandangan menarik disini, di tengah – tengah kebun teh ada sebuah perkampungan yang mana rumah – rumah di kampung tersebut memiliki bentuk yang serupa, beratapkan asbes, berdindingkan kayu dan bambu. Kampung tersebut memiliki nama Kampung Malani atau lebih populer dengan sebutan Kampung Tokyo yang keberadaannya sudah ada sebelum Indonesia merdeka.
Mereka yang tinggal di Kampung Malani adalah para pekerja perkebun teh Nirmala. Mereka sudah tinggal disana turun menurun.
Saya terus memacu motor kesayangan saya yang telah menggilas aspal jalan sejauh 25 ribu Km ini, sudah 1 jam lebih namun belum nampak juga Stasiun Penelitian Cikaniki, jalan makadam ini membuat perjalanan terasa jauh padahal sangat dekat.
Dari arah sebelah Timur terlihat awan mendung turun secara cepat, saya menduga di wilayah sana sudah hujan dan berharap hujannya tidak sampai ke arah kami. Ternyata harapan kami tidak terkabul, hujan mengguyur kami sebelum kami tiba di Stasiun Penelitian Cikaniki. Kami berhenti terlebih dahulu untuk mengenakan jas hujan lalu kembali melanjutkan perjalanan yang semakin aduhai ini, makadam ditambah hujan, licin. Lengkap sudah penderitaan.
Akhirnya kami tiba di Stasiun Penelitian Cikaniki. Kami pun berteduh terlebih dahulu disini sembari mencari – cari petugas yang berjaga untuk bertanya lokasi mendirikan tenda.
Petugas itu hanya tersenyum seraya berkata
“kamu datang dari arah Bogor, bumi perkemahannya ada di Citalahab, kamu sudah kelewatan 2 Km dari sini”
“Oh My God” gumam saya dalam hati
Kami telah kelewatan 2 Km dan harus memutar balik yang kedua kalinya diperjalanan ini. Saya mengarah ke Stasiun Penelitian Cikini karena dari catatan perjalanan blogger – blogger yang sudah kesini mengatakan bahwa Bumi Perkemahan Citalahab bersebelahan dengan Stasiun Penelitian Cikaniki namun tidak disebutkan bahwa yang dimaksud bersebelahan itu adalah 2 Km!!!
Dengan susah payah, akhirnya kami tiba di Ekowisata Citalahab Sentral. Kedatangan kami disambut oleh Pak Suryana, salah satu yang dituakan di Kampung Citalahab.
Bersambung ke Jamur Bercahaya di Gunung Halimun
Comments