“kenapa bus-nya berhenti?” tanya saya pada ayah
“Ada yang mau turun disini” jawab ayah
“Sawahlunto, Sawahlunto, Sawahlunto” teriak sang kondektur yang suaranya bisa membangunkan orang – orang dalam bus yang kami tumpangi dari Terminal Rawamangun ini.
Rupanya kami telah tiba di Simpang Muara Kalaban, orang Sawahlunto yang naik bus melalui Jalan Lintas Sumatera akan turun disini. Dari simpang ini Sawahlunto masih berjarak 12 kilometer lagi, melewati jalan khas perbukitan yang berkelok – kelok.
“Sawahlunto? Ada apa disana?” saya bertanya lagi kepada ayah
“Suatu saat nanti ayah akan mengajak kamu disana, ayah juga penasaran dengan kisah orang rantai”
Orang rantai adalah sebutan bagi budak – budak yang didatangkan ke Sawahlunto dari luar wilayah Sumatera Barat yang ditugaskan di tambang – tambang batu bara.
Itu adalah sekilas memori yang masih terekam dalam ingatan saya, cerita pada saat saya bersama ayah dari Jakarta menuju Padang dengan menumpang Bus AKAP beberapa tahun yang lalu, ketika itu usia saya masih duduk di kelas 5 SD.
Sayang sekali, janji ayah untuk membawa saya ke Sawahlunto tidak tersampaikan hingga akhir hayatnya.
Saya penasaran sekali dengan kota kecil yang ada di balik bukit Muara Kalaban itu.
Setelah menikmati keindahan alam di Taman Panorama Danau Kembar, saya melanjutkan perjalanan menuju Sawahlunto melewati jalan kampung yang kecil dimana kanan kirinya tumbuh subur sayur mayur.
Di tengah perjalanan saya sempat berjumpa dengan pasar mingguan yang membuat perjalanan agak tersendat.
1 jam perjalanan dari Taman Panorama Danau Kembar, hawa dingin tidak lagi saya rasakan. Hari telah menjelang sore ketika saya tiba di Solok.
Baca juga : Taman Panorama Danau Kembar
Di sisi kanan jalan saya melihat terminal dengan nama yang unik yaitu Bareh Solok yang kalau diartikan beras solok. Beras Solok memang sangat terkenal, bahkan saking populernya ia menjadi sebuah judul lagu yang dinyanyikan oleh penyanyi ternama. “bareh solok lamak rasonyo” pegitu isi penggalan lagu tersebut.
Popularitasnya pun menjadikan ia dinisbatkan sebagai nama terminal kota. Terminal ini kembali memberi kenangan perjalanan saya bersama ayah. Ketika tiba di Terminal Bareh Solok, ayah membeli dua bungkus Sate Padang yang kami makan di dalam bus setelah ia keluar dari terminal.
Ada lagi kisah lainnya yang masih saya ingat yaitu sepasang suami istri yang ditipu oleh calo yang ada di terminal ini. Orang tua salah satu diantara mereka dari Solok, sedangkan mereka sendiri berdomisili di Bandung. Saat libur lebaran telah usai mereka pun berniat untuk kembali ke Bandung. Oleh calo terminal mereka digiring ke bus yang saya tumpangi bersama peserta Pulang Kampung Rumah Gadang yang tujuan akhirnya adalah Jakarta.
Sang Calo licik itu berhasil meyakinkan sepasang suami istri ini bahwa bus yang ditumpangi ini akan sampai di Bandung, mereka pun membayar tiket lebih mahal dari harga yang dijual agen. Dan itu membuat persedian uang mereka sangat terkuras.
Ketika bus kami berhenti di rumah makan yang tak jauh dari Pelabuhan Merak, barulah mereka sadar kalau mereka ditipu oleh Calo di Terminal Bareh Solok. Sang istri meronta – ronta sebab uang yang mereka miliki tak cukup untuk membiayai perjalanan mereka hingga ke Bandung. Akhirnya para peserta Pulang Kampung Rumah Gadang berbaik hati memberikan mereka uang untuk ongkos sampai tiba di Bandung.
Bus kembali melanjutkan perjalanannya ke Jakarta, lalu ketua rombongan bus kami menelpon sang calo yang isi percakapannya
“tanggalkan peci haji ang tu, anjiang ang, ang yang babuek, awak yang kanai sansai”
Saya telah tiba di Simpang Muara Kalaban, lokasi yang sama saat bus yang saya tumpangi bersama ayah berhenti untuk menurunkan penumpang yang berasal dari Sawahlunto.
“ah 12 kilometer lagi saya akan sampai” ucap saya dalam hati penuh semangat
Saya tarik tuas gas dalam – dalam, melumat jalan yang penuh kelokan hingga saya tiba di sebuah persimpangan dimana di tengah – tengah persimpangan tersebut berdiri dengan kokoh patung Muhammad Yamin, pahlawan nasional yang berasal dari Sawahlunto tepatnya di Talawi.
Saya mengambil arah kanan, disisi kiri saya melihat bangunan masjid yang begitu unik dan memiliki Menara yang amat tinggi. Masjid itu adalah Masjid Nurul Iman Sawahlunto.
Baca juga : Masjid Nurul Iman Sawahlunto
Pandangan pertama saya kepada kota ini begitu memukau. Tak jauh dari Masjid Nurul Iman, terdapat sebuah bekas stasiun yang saat ini telah beralih fungsi sebagai Museum Kereta Api Sawahlunto. Saya berhenti disini, dan tertarik untuk masuk ke dalamnnya.
Baca juga : Museum Kereta Api Sawahlunto
“sudah tutup, diak, besok aja kalau mau kesini, kami mulai buka jam 8 pagi” kata petugas yang sedang berkemas dan ingin menutup pintu masuk museum.
Saya mencari penginapan yang sekiranya harganya terjangkau oleh kantong dan pilihan saya jatuh pada Hotel Ombilin Heritage yang per malamnya dikenakan harga Rp 300 ribu. Lumayan juga, padahal di Sawahlunto banyak tersedia homestay – homestay yang sayangnya ketika saya berkunjung kesana masih belum ada informasi harga. Dan ketika itu mental saya sebagai pejalan masih terbilang cemen, saya masih enggan untuk bertanya – tanya soal harga apalagi menawar.
Setelah mendapat kunci kamar, saya menuju ke kamar yang berada di lantai satu di lokasi paling pojok.
Ternyata ruang kamarnya cukup luas, saya letakan barang bawaan yang sedari tadi telah membuat punggung dan pundak ini letih.
Saat ingin beristirahat saya mendengar suara gongongan anjing yang tiada henti, suara itu berasal dari belakang hotel. Ada apa itu?
Bersambung Pacu Anjing Sawahlunto
Comments