Bapak paruh baya itu nampak tertatih – tatih berusaha terus mendorong gerobak kesayangannya. Di tiap sisi gerobaknya tertulis KUE RANGI BETAWI. Mendorong gerobak kini bukanlah perkara mudah baginya mengingat usianya yang tak lagi muda. Akhirnya bapak itu sampai di tempat biasanya ia mangkal. Sudah dua kali ditiap akhir pekan ini ini saya dan istri mengunjungi Setu Babakan. Tiap kali kesini kami selalu mencari Kue Rangi. Dan kami selalu membeli Kue Rangi pada orang yang sama, ya bapak paruh baya itu.
Kami datang terlalu pagi, belum banyak pedagang yang menggelar lapaknya, pun begitu dengan bapak penjual Rangi.
Belum lagi ia mengambil nafas setelah baru saja tiba di tempat dimana ia berharap rezeki datang padanya. Saya sudah menyamparinya dan memesan seporsi Kue Rangi.
“Pak Kue Ranginya seporsi ya, makan disini” pinta saya kepada si bapak
Seperti tak kenal rasa lelah, si bapak langsung membuatkan seporsi kue rangi yang saya pesan.
Sudah dua kali saya membeli kue rangi sama si bapak, jadi saya mulai sok kenal sok dekat, memerhatikan gerobak dan isinya serta cara si bapak membuat kue rangi hingga matang dan disajikan kepada saya.
Oh ya, mengapa kami selalu mencari Kue Rangi saat mengunjungi Setu Babakan? Alasannya ialah melepas rindu. Ya, dulu, dulu sekali ketika saya masih bau matahari, saya masih dengan mudah menemukan kue tradisional khas Betawi ini. Biasanya penjual Kue Rangi mangkal di depan SD saya atau di sore hari terkadang lewat di depan rumah saya di bilangan Kebon Jeruk.
Namun kini keberadaan Kue Rangi semakin sulit untuk ditemui.Ia hanya ada di tempat dimana nuansa Betawinya masih kental seperti di Setu Babakan ini.
Saya mencoba bertanya kepada si bapak mengenai hal ini.
Ternyata ada beberapa alasan mengapa Kue Rangi semakin langka dan susah ditemukan di jalan – jalan Jakarta seperti waktu duu.
Pertama, telah terjadi pergeseran selera masyarakat. Saat ini orang – orang lebih suka membeli kue di toko – toko kue daripada di pinggir jalan. Sebab kue – kue yang dijual di toko – toko lebih bervariatif.
Kedua, meski terlihat sederhana, namun tidak banyak orang yang bisa membuat Kue Rangi. Karena kalau salah membuat, rasanya tidak enak. Apalagi pasta jawa merah sebagai topping yang kental itu gosong, sudah pastinya akan mengurangi cita rasa asli dari kue rangi ini.
Ketiga, Kue Rangi terbuat dari campuran tepung kanji, kelapa tua, sedikit garam dan air. Nah, adonanan kue ini tidak dapat bertahan lama karena mudah basi sehingga harus dihabiskan dalam waktu satu hari. Padahal belum tentu setelah seharian keliling kampung, jualannya laku dan habis terjual
Keempat, harga jual yang rendah. Ya, harga kue rangi seporsi hanya Rp 5.000, angka yang terbilang cukup murah untuk makanan – makanan yang ada di Jakarta yang keras ini. Jadi banyak yang beralih menjual jajanan lainnya yang lebih menguntungkan.
Setidaknya itulah empat alasan mengapa sekarang jarang sekali ditemukan abang – abang penjual kue rangi.
“Lantas, mengapa si bapak masih saja tetap bertahan menjual Kue Rangi?” Tanya saya.
Si bapak hanya tersenyum lalu berkata “bapak masih menjual Kue Rangi sampai sekarang karena ingin melestarikan budaya Betawi saja, nak”
Comments