Pagi itu cuaca tidak begitu cerah, barisan awan masih menutup sebagian dari langit. Sehari sebelumnya hujan mengguyur Kota Bukittinggi.
Saya kembali datang di Bukittinggi di akhir September yang basah. Kedatangan saya kesini tentu saja untuk melepas rindu bersama Agus dan Bang Rangga. Kalau kami sudah berkumpul, biasanya kami selalu merencanakan sebuah perjalanan. Apakah itu berkunjung ke sebuah destinasi, mendaki bukit dan gunung atau hanya jalan – jalan santai untuk menikmati kulineran.
Setelah diskusi singkat, maka kami putuskan agenda kali ini ialah jalan – jalan santai sambil kulineran. Adapun destinasi kuliner yang akan kami kunjungi diantaranya Kopi Tatungkuik di Malalak dan Itiak Mudo Lado Hijau di Ngarai Sianok.
Plan kami ialah menuju kedai Kopi Tatungkuik di Malalak terlebih dahulu, lalu kemudian ke Ngarai Sianok tepat pada saat jam makan siang. Sebuah rencananya yang asik, bukan?
Kami menuju Malalak dengan mengendarai sepeda motor. Bang Rangga membonceng Kia, sedangkan Agus membonceng saya.
Bayangan saya saat menuju ke Malalak rutenya adalah melewati jalan By Pass, lalu kemudian ke Simpang Padang Luar dan belok ke kanan ke arah Maninjau.
Ternyata Bang Rangga yang memimpin perjalanan ini membawa kami melewati Ngarai Sianok.
“Ngapain lewat Padang Luar, macet, jauh lagi” begitu katanya
Setelah melewati jembatan di Ngarai Sianok, kemudian kami berbelok ke kanan lalu ke kiri ke jalan kecil yang menanjak dan berliku. Jalan tersebut nantinya membawa kami ke Nagari Sianok Anam Suku.
Tepat di depan Masjid Jamik Sianok, Bang Rangga berhenti.
“Ada apa, kenapa berhenti?” tanya saya
“Disini kata teman saya ada ibu – ibu yang sudah puluhan tahun jualan kue mangkok, mau lihat ga? tapi saya belum tahu tempatnya” jawab Bang Rangga
“wah boleh juga tuh, mumpung kita disini, bisa dijadiin konten”
Ya itulah kami, tiap kali jalan – jalan bersama yang dipikirkan adalah konten, kedua baru senang – senang.
Kami bertanya ke warga sekitar lokasi penjual kue mangkuk yang ada disana. Ternyata lokasinya berdekatan dengan Masjid Jamik Sianok, hanya saja sedikit masuk ke dalam. Mungkin bagi orang yang pertama kali mencarinya akan kesulitan.
Untuk mempermudah pencarian, silahkan klik link ini.
Kami pun tiba di lokasi. Hanya ada kedai yang sudah tutup namun di depannya terletak sebuah meja kecil yang dijadikan tempat untuk menaruh nampan yang berisikan kue mangkok yang sudah matang.
“cari apa, nak?”kata seorang bapak yang lagi duduk – duduk di depan kedai
“kue mangkuk, pak” Jawab Bang Rangga
“nah ini, tempatnya”
“terus bikinnya dimana, pak?”kini bang Rangga yang balik bertanya
“Hahaha… kalian kalau mau lihat cara pembuatannya dari awal datanglah jam 3 – 4 pagi sebab kalau hari sudah terang kue mangkuknya sudah dimasak”
Setelah percakapan tersebut lalu datanglah Ibu Ita, beliau adalah pembuat kue mangkuk yang telah berjualan kue ini sejak 1973. Beliau merupakan generasi kedua, Ia mewarisi keahlian untuk membuat kue mangkok dari ibunya yang mulai berjualan tahun 1950-an.
Tiap harinya ibu Ita berjualan kue mangkok di depan rumahnya, namun jika sedang memasuki hari pasar yang jatuh pada hari Rabu dan Sabtu maka kue mangkuk ini diantar ke pasar.
Harga kue mangkuk santan buatan Ibu Ita dibanderol dengan harga Rp 1.200. Tiap harinya rata – rata ia mampu membuat kue mangk hingga 300 buah. Namun saat hari raya lebaran penjualannya bisa meningkat hingga 2 kali lipat.
Pembeli kue mangkok santan buatan Ibu Ita ini datang dari warga sekitar Nagari Sianok, Bukittinggi bahkan dari luar Sumbar yang sedang mudik dan rindu dengan jajanan khas kampung.
Kue Mangkok Santan ini berbahan dasar tepung beras, gula enau, dan santan. Sayangnya kami tidak dapat melihat proses pembuatannya dari awal sehingga kami tidak bisa menceritakannya secara detail.
Bagaimana rasa dari kue mangkok santan? Jika dilihat bentuknya ia terdiri dari dua lapis. Lapis pertama berwarna putih yang merupakan santan kelapa, sedangkan lapisan kedua merupakan tepung beras yang bercampur dengan gula enau. Jadi rasa yang dominan adalah gurih dan manis.
“untuk membuat kue mangkok ini, harus menggunakan gula enau, kalau gula merah yang dari tebu rasanya nanti jadi kurang enak” Kata suami dari Ibu Ita
Karena dibuat tanpa menggunakan bahan pengawet, maka kue ini tidak bisa tahan lama. Paling lama sampai sore hari saja.
Jadi buat kalian yang penasaran ingin mencoba kue mangkok santan yang sudah legend ini. Datanglah ke Nagari Sianok Anam Suku di pagi hari. Karena jika sudah lewat dari jam 9 pagi, kue ini sudah habis diborong pembeli.
Bersambung
Comments