“yang…
Hujan turun lagi
Di bawah payung hitam kau berlindung”
Lagu berjudul Antara Benci Dan Rindu yang dinyanyikan oleh Ratih Purwasih menemani kami saat menunggu hujan reda di rumah makan yang berada di Pantai Serdang. Dari tempat duduk kami terlihat ombak yang berkejaran menghempas bibir pantai. Milyaran buih kembali ke Pantai Serdang setelah menempuh perjalanan jauh, mungkin ia telah mengitari Selat Karimata, Selat Gaspar, Laut Jawa bahkan Laut Cina Selatan. Bukankah buih yang telah pergi dari pantai akan kembali ke pantai yang sama? Entahlah, itu hanyalah dugaan saya saja yang sedang hanya terbawa lantunan lagu yang populer pada tahun 80an ini.
Ketika hujan mereda, kami beranjak dari Pantai Serdang menuju Pantai Burung Mandi yang jarak diantara keduanya sekitar 22 Km
Senyum Sepasang Kekasih Berusia Senja di Pantai Burung Mandi
Kami tiba di Pantai Burung Mandi 30 menit kemudian, kami menepi di sebuah warung yang dijaga oleh sepasang kekasih berusia senja. Kedatangan kami mengubah raut wajah mereka yang semula murung menjadi terpancar sebuah kebahagiaan, bahagia karena ada juga orang yang singgah di warungnya di tengah hujan seperti ini dimana ketika itu sepi sekali wisatawan yang berkunjung di pantai yang berada di timur Belitung ini.
Sepasang kekasih yang telah menjalin kasih berpuluh – puluh tahun ini dengan semangat menjamu kami.
“Ayo, nak, mau apa? Ikan bakar, cumi goreng tepung, udang, cah kangkung, semua ada” ujar si bapak
“wah kami baru saja makan di Manggar, masih penuh perut ini, pak” jawab Ipuy
Saya dan Ipuy memesan kelapa muda, Azhar lagi – lagi memesan kopi hitam, ini adalah kopinya yang kelima di hari itu.
“bu, beghi garam sikit” pinta Ipuy kepada ibu yang sedang asik memanaskan air untuk kopi yang dipesan Azhar
“buat apa garam, Puy” Tanya saya heran
“ini obat alami panas dalam, tur, cobalah, sikit aja garamnya terus aduk di air kelapanya” Ipuy menjelaskan dengan logat Melayunya yang kental
Saya pun mencobanya resep dari Ipuy ini, dan memang cukup mujarab dalam dua hari ke depan masalah panas dalam saya dapat teratasi.
Sembari menikmati kelapa muda, si ibu memberikan hidangan lepat ubi kepada kami
“ayo dimakan, mumpung masih hangat” kata ibu sembari menawarkan kepada kami
Lepat ubi itu adalah olahan singkong dicampur dalam gula kelapa, dimasukan ke dalam kulit pisang kemudian di kukus. Sudah terbayang apa yang saya maksud lepat ubi? Ada juga yang menyebutnya lemet singkong.
Tanpa sungkan kami makan lepat ubi buatan ibu. Rasanya manis, gurih dan tentunya sangat pas dimakan saat suasana hujan seperti ini.
Kedatangan kami sepertinya memberikan berkah bagi si ibu dan bapak, karena setelah kami datang beberapa mobil travel singgah di warung ini. Bapak meski sudah dimakan umur namun dengan semangat menenteng bangku panjang miliknya untuk ditaruh di depan gazebo yang berada di depan warungnya.
“yang penting kita buat dulu tamu – tamu itu senang, dia beli atau tidak di warung bapak tak menjadi soal” kata si bapak sambil tersenyum, tak peduli senyumnya itu menimbulkan gurat keriput di wajahnya.
Kisah Menaklukan Selat Karimata
Karena faktor usia, bapak tak pernah melaut lagi. Di usia mudanya ia gemar mencari ikan di perairan Selat Karimata yaitu sebuah selat yang menghubungkan antara Pulau Belitung dengan Pulau Kalimantan.
“dahulu bapak senang sekali berlayar, mencari ikan hingga ke Ketapang” cerita bapak dengan semangat
“laut yang ada di depan kita ini adalah Selat Karimata, dulu yang pesawat jatuh ya disana itulah” lanjut bapak
Kini di usianya yang sudah kepala enam, bapak lebih memilih menjaga warung, menjajakan berbagai menu seafood, kelapa muda serta minuman segar lainnya.
Comments