Telah tengah hari, hujan juga sudah mereda, matahari yang sedari tadi bersembunyi dibalik awan mulai menampakan dirinya. Kami segera bergegas meninggalkan Museum Goedang Ransoem menuju tengah kota tepatnya di warung makan yang nampak ramai karena memang sedang memasuki jam makan siang.
Kami memesan dua bungkus nasi lengkap dengan lauknya untuk kami makan di Puncak Cemara nantinya.
Dari pusat Kota Sawahlunto ke Puncak Cemara berjarak 6 Km melewati jalan menanjak, ada sesuatu yang unik saat menuju Puncak Cemara yakni di sepanjang tepian jalan terdapat plang – plang bertuliskan Asmaul Husna.
Kami tiba di Puncak Cemara, memarkirkan kendaraan lalu mencari tempat paling asik untuk menikmati santab siang kami.
Santab siang kali ini terasa sangat nikmat karena ditemani oleh angin sejuk yang mengeluarkan bunyi dari balik daun – daun cemara yang meruncing.
Selesai perkara perut, saatnya menikmati suasana Puncak Cemara.
Dari Puncak Cemara berada di ketinggian sehingga dari sini Sawahlunto terlihat sangat jelas, rumah – rumah berjejer rapi, besi – besi raksasa yang menyangga lingkaran beton, bekas – bekas pabrik yang ditinggalkan meninggalkan banyak noda karat di dalamnya, pasar, lapangan Ombilin, semuanya terlihat.
Melihat Kota Sawahlunto dari Puncak Cemara membuat imajinasi saya melayang – layang, saya membayangkan 100 tahun yang lalu ditempat yang sama ini saya ditemani oleh noni – noni Belanda yang asik menghabiskan waktu petang sembari menyaksikan rona langit menjadi kemerah – merahan.
Di bawah sana terlihat stasiun yang tidak pernah istirahat, para pekerja, lori dan kereta silih berganti mengeluarkan batu bara dan menaruhnya di gerbong – gerbong yang parkir di stasiun untuk kemudian di bawa ke Emma Haven (Teluk Bayur) lalu diangkut menggunakan kapal dan dibawa entah kemana.
Upss, saya terbangun dari hayal, kini saya sedang berada di Sawahlunto pada tahun 2016 dimana kota ini sudah mengganti haluannya dari kota tambang yang mendatangkan buruh tambang menjadi kota wisata yang mengundang wisatawan untuk datang.
Comments