Dalam bahasa Minang, Ngalau adalah sebutan untuk sebuah goa. Nama yang mengikuti sebuah ngalau biasanya berdasarkan dari apa yang ada di dalam goa tersebut. Misalnya Ngalau Indah di Payakumbuh, dikatakan indah karena goa ini sudah terkelola dengan baik oleh pemerintah setempat. Ngalau Basurek, dinamakan basurek karena di dalam goa tersebut terdapat tulisan – tulisan. Begitu juga dengan Ngalau Talago yang akan kami datangi ketika itu, dinamakan demikian karena di dalam goa ini ada sebuah telaga yang disebut talago dalam bahasa Minang.
Dari titik pemberhentian, kami langsung dihadapkan tanjakan terjal dengan kemiringan sekitar 70 derajat. Jalur menuju pintu goa kurang begitu jelas karena ditutupi oleh dedaunan yang meranggas jatuh dari batang pohonnya.
Bagi Alwan, ini merupakan debutnya di dunia per-trekking-an (bahasa apa ini?), saya berharap tidak ada keluhan yang keluar dari mulutnya. Dan semoga ia menikmati wisata jenis ini.
Bojeng sepertinya sudah sangat sering sekali kesini, langkah kakinya sangat cepat dan tidak mampu kami imbangi. Akhirnya, ia menyesuaikan langkahnya supaya kami tidak ketinggalan di belakang.
Di tengah jalur, kami berjumpa dengan dua orang pemburu lengkap dengan senapan angin, entah apa yang diburunya karena ketika saya tanya tidak dijawabnya. Entah, mungkin karena bosan tidak mendapatkan apa yang diburunya, kedua pemburu ini justru ikut bersama kami menuju goa.
Setelah 30 menit mendaki, akhirnya kami tiba di pintu Ngalau Talago. Pintu goa ini cukup besar yaitu sekitar 3 x 4 meter yang langsung memasuki sebuah ruangan besar yang dipenuhi oleh bebatuan kapur stalaktit dan stalakmit yang uniknya memiliki warna – warni layaknya seperti telah diberi lampu.
“kita sudah sampai di Ngalau Talago, nah itu talago-nya” kata Bojeng sembari menunjuk ke sebuah cekungan yang berisi air.
“sekarang lagi kemarau jadi airnya sedikit, kalau musim hujan airnya melimpah, kita bisa berenang disini” tambahnya lagi.
Sebenarnya saya kurang begitu berminat dengan wisata alam berupa goa, karena yang ada dalam benak saya goa itu adalah gelap dan saya takut akan kegelapan, karena tidak ada yang lebih hitam selain gelap.
Namun, suasana di dalam Ngalau Talago terasa menyenangkan, udara yang masuk melalui pintu goa terasa sangat sejuk ditambah dengan keindahan batuan stalakmit dan stalaktit yang ada di goa ini, bahkan ada bebatuan yang menurut saya menyerupai bentuk gajah.
Ternyata Ngalau Talago ini memiliki beberapa ruangan yang masing – masing memiliki keunikan tersendiri. Namun, untuk menuju ke ruangan tersebut harus menggunakan sennter atau head lamp karena cahaya matahari sudah tidak mampu lagi masuk ke dalamnya. Untungnya, hal ini sudah kami antisipasi sebelum berangkat.
Di dalam ruangan yang kami masuki ini terdapat bagian yang sangat berbahaya yaitu sebuah lubang seperti sumur yang memiliki panjang sekitar 8 meter. Tidak diketahui berapa kedalamannya, namun menurut Bojeng kedalamannya sangat dalam, coba saja lempar batu ke dalamnya maka tidak terdengar lagi suara jatuhannya. Mengerikan, bagaimana jika salah satu dari kami masuk ke dalam lubang tersebut?
Selain lubang tersebut hal yang juga menarik perhatian ialah batu yang sangat mirip dengan buaya. Menurut Bojeng inilah yang menjadi asal muasal nama talago karena keberadaan batu ini dipercaya pada zaman dahulu ialah buaya yang hidup di telaga dan kini telah membatu.
Usai menjelajahi ruangan pertama kami keluar untuk menuju ruangan yang kedua. Di ruangan yang kedua ini kami menyaksikan keindahan batuan stalakmit yang menyerupai singgasana raja dilengkapi dengan stalaktit yang menggantung diatasnya. Sungguh eksotis sekali panorama yang tersaji dalam kegelapan goa ini.
Rasanya puas sekali mengeksplore Ngalau Talago ini, keindahan yang tersaji di dalamnya sangat memukau. Goa ini sangat berpotensi sekali menjadi obyek wisata minat khusus jika dikelola dengan baik oleh pemerintah setempat.
Sebelum kembali turun, kami mencoba membersihkan sampah – sampah sisa bungkus makanan dan botol minuman mineral yang cukup banyak berserakan di mulut goa. Sayang sekali keeksotisannya harus dinodai oleh sampah akibat ulah pengunjung yang tidak bertanggung jawab.
Perjalanan turun ternyata lebih menegangkan ketimbang naik, dengan tingkat kecuraman 70 derajat membuat saya dan Alwan terjatuh berkali – kali. Namun, hal itu tidak berlaku bagi Bojeng yang dengan mantab terus menuruni jalur tanpa goyah sedikit pun.
15 menit kemudian, kami telah sampai kembali dengan selamat.
Comments