Usai menikmati keindahan di Ngalau Pasuak, kami kembali menuju Muaro Sijunjung. Namun, sebelumnya kami singgah lagi ke sebuah spot yang pernah populer berkat sosial media, spot yang dimaksud ialah Pohon Cinta.
Awalnya saya tidak mengerti mengapa pohon yang tumbuh seorang diri ini disebut pohon cinta, ternyata pohon ini jika dilihat dari arah barat maka pucuk – pucuk daunnya akan terlihat seperti tanda “love”, letaknya yang berada di ketinggian serta mengarah ke barat menjadikannya cocok sebagai tempat menghabiskan sore sembari menikmati panorama matahari terbenam, sayang kala itu mentari tertutupi awan mendung.
“ayo kita pulang, sebelum gelap” kata Bojeng kepada saya yang masih menikmati suasana sore
Tiba di rumah Bojeng kami bersih – bersih diri setelah itu ingin rasanya beristirahat setelah menjelajahi Sijunjung seharian. Namun semua berubah ketika Ryan mengatakan akan ke Sawahlunto malam itu.
Usai makan malam, kami berpamitan kepada Bojeng yang telah sangat baik menjamu kami selama di Sijunjung. Peluk mesra bak seorang yang telah berkawan lama mengiringi perpisahan kami, padahal kami baru saja kenalan dua hari namun kini telah seperti saudara.
“maaf kalo ada kekurangan dari ambo, pintu selalu terbuka, ditunggu silaturahminya kembali di Kota Lansek Manih Kota Pertemuan Muaro Sijunjung” ucap Bojeng sembari memeluk saya.
Kami pun pergi beranjak meninggalkan kota Muaro Sijunjung menuju Sawahlunto.
Kami melewati Jalan Lintas Sumatera yang malam itu situasinya sedang ramai dengan arus balik, mobil – mobil pribadi berlari sekencang – kencang menggilas aspal dingin Lintas Sumatera. 30 menit kemudian kami telah tiba di Muara Kalaban, kami berbelok ke kanan. Kota Sawahlunto tinggal 6 Kilometer lagi, hanya 10 menit dari Lintas Sumatera, pusat Kota Sawahlunto akan tampak dari jalan yang membelah perbukitan. Senyum Muhammad Yamin yang dipahat di tugu menyambut kedatangan kami di persimpangan.
Ryan mengajak kami ke rumah salah satu kawannya yang tinggal di Sawahlunto, Nopita namanya. Kami sempat tersasar mencari rumahnya namun akhirnya ketemu juga.
Senyum manis Nopita menyambut kedatangan kami, kami dipersilahkan masuk ke dalam rumahnya. Sekilas tentang Nopita, ia adalah teman main Ryan, berjumpa di gunung katanya dan sekarang menjadi teman. Teman apa modus? Entahlah. Nopita asli Sawahlunto, lahir, besar di Sawahlunto bahkan kerja pun di Sawahlunto tepatnya di waterboom Sawahlunto yang merupakan waterboom pertama di Pulau Sumatera. Wajahnya ayu, kulitnya putih serta bentuk matanya oriental, saya suka sekali ketika melihat ia tersenyum atau tertawa, kelopaknya matanya akan menutupi bola matanya, manis sekali.
Karena hari sudah malam kami berpamitan kepada Nopita, sebelum kami pergi ia memberikan saya nomor telepon genggamnya, apa maksudnya ya? Ah sudahlah, mungkin supaya silaturahmi ini tidak putus sampai disini saja.
Di tepi jalan raya, kami harus berpisah dengan Ryan yang akan melanjutkan perjalanan menuju Kota Padang Panjang.
“sebenarnya saya mau ikut kamu, rute yang kamu buat itu sudah pas banget, tapi saya harus mengembalikan motor ini ke ayah” ucap Ryan
Kami pun berpisah, dengan secepat kilat Ryan telah menghilang dari hadapan kami, ia kembali ke Lintas Sumatera kemudian ke arah Solok hingga melipir di tepian Danau Singkarau hingga sampai di kota dingin, Padang Panjang.
Sekarang kami yang bingung hendak kemana malam – malam di Sawahlunto? Sawahlunto mulai di atas jam 9 malam bak kota mati, sepi. Tidak seperti kota lain dimana anak – anak muda masih berkeliaran di malam hari, di Sawahlunto aturannya cukup ketat, lewat jam 9 malam makan petugas satpol PP akan menelusuri kota untuk menertibkan anak – anak muda yang masih kedapatan berada diluar rumah.
Bekal kami habis, kami pun menuju pasar dan berharap masih ada warung yang buka karena saat itu telah lewat jam 11 malam. Beruntung, masih ada warung yang buka, kami membeli air minum serta beberapa mie instan untuk ganjal keesokan paginya.
Dari pasar kami menuju Puncak Cemara Sawahlunto, kami akan kemping disini meski saya sendiri tidak yakin apa diperbolehkan membuka tenda disini, karena tempat ini memang bukanlah area untuk kemping.
Baru saja tiba di area parkir, kami langsung disambut dengan tidak ramah oleh petugas yang berjaga malam itu
“hei apa itu, kalian mau minum – minum ya?” tanya petugas itu
“Maaf, pak, apa ada wajah kami wajah peminum? Jangan asal sebut, pak, kantong yang kami bawa berisi air mineral” jawab saya
Setelah itu si petugas menghiraukan kami.
Kami begitu menikmati panorama Kota Sawahlunto di malam hari, bagi kalangan fotografer pemandangan ini sangat layak diabadikan dalam foto, terlihat beberapa pecinta fotografi yang sibuk memainkan kameranya agar didapat foto yang rancak.
Hari semakin malam, malah hari sudah berganti. Satu per satu orang pergi meninggalkan Puncak Cemara, petugas yang menegur kami tadi itu pun sudah masuk ke dalam ruangannya, mungkin tidur. Tinggalah kami yang masih kebingungan hendak kemana malam itu, sebenarnya kami ingin tidur di mushala yang merupakan fasilitas di Puncak Cemara Cuma baru saja melangkah kesana anjing – anjing liar menghadang kami.
Akhirnya kami putuskan mendirikan tenda seadanya diparkiran! Toh kami tidak merusak apapun, pikir saya malam itu.
Tenda sudah berdiri, kami pun masuk untuk menghindari angin malam Sawahlunto yang dingin
Comments