Kami tiba di Kota Muaro Sijunjung ketika matahari akan tenggelam di barat sana. Bojeng mempersilahkan kami duduk di kedai warung kopi tempat biasa ia nongkrong, berkumpul bersama teman – temannya sembari ngopi dan menghisap rokok. Disana sudah ada tiga teman Bojeng lainnya yang sudah tiba di Muaro Sijunjung sebelum kami. Dua diantaranya berasal dari Pariaman

Saya masih belum tahu kemana akan berhenti selanjutnya. Apakah Sawahlunto atau langsung terus hajar hingga Muaro Sijunjung. Dari Danau Diatas kami melanjutkan lagi perjalanan yang lagi – lagi ditemani oleh hujan gerimis. Namun, ketika memasuki obyek Wisata Panorama Danau Kembar cuaca segera berubah menjadi cerah. Ondeh mandeh, hanya berbeda satu RW sudah beda juga cuacanya.

Selagi kami makan,  kami melihat beberapa petinggi militer nampak sedang melakukan acara di tepian danau. Ternyata mereka sedang melakukan aksi sosial dengan membagikan life jacket kepada pelaku usaha kapal wisata Danau Diatas. Langkah yang sangat baik dan patut diapresiasi karena mengutamakan keselamatan bagi pengunjung disini. “jadi bapak sekarang tolong dihimbau penumpangnya sebelum naik ke kapal

“Matahari kan bersinar sayang Mendung kan tertiup angin Burung – burung kan bernyanyi sayang Menghibur hati yang sedih Hujan pun akan berhenti sayang, Alam pun akan berseri” Kutipan lirik lagu dari Koes Plus berjudul Hidup yang sepi nampaknya tepat menggambarkan suasana usai kami shalat zhuhur di Masjid Tuo Kayu Jao. Hujan reda, kabut menghilang, awan

Padang – Sitinjau Laut – Alahan Panjang – Danau Kembar – Solok Via Muaro Paneh dan berakhir di Kota Muaro Sijunjung. Itulah rute perjalanan kami hari pertama. Kami baru memulai perjalanan ketika hampir semua anak dan cucu oma kembali ke kota-nya masing – masing. Hari itu langit ditutupin oleh awan mendung ditambah lagi dengan suara