“Sijunjung? Hemm.. apa yang mau kamu cari disana? Itu kota mati! Wisata tidak ada, jauh dari mana – mana, tidak ada yang menarik disana!” ujar seorang pria paruh baya kepada saya ketika saya hendak mengatakan ingin mengunjungi Sijunjung.
Saya tidak sepenuhnya yakin dengan ucapan bapak itu, bagi saya tiap tempat pasti memiliki keindahan tersendri yang bahkan tidak dimiliki oleh tempat lainnya.
Hari ini kami telah memasuki hari yang kedua. Agenda yang akan kami lakukan ialah mengeksplore seluruh tempat eksotis yang ada di kabupaten ini seharian penuh.
Usai mandi pagi, Bojeng mengajak kami mencari sarapan di warung ketupat langganannya. Namun, sayangnya ketika kami kesana sudah habis. Di warung tersebut ada beberapa polisi yang sedang menikmati santab sarapan pagi. Saya melihat begitu akrabnya Bojeng dengan para polisi tersebut.
Karena belum mendapatkan sarapan, Bojeng mengajak kami ke warung tempat kami bertemu kemarin. Untungnya ketupat yang diharapkan sebagai pengisi perut kami di pagi itu masih ada.
Potongan – potongan ketupat lengkap dengan sayur cubadak telah berpindah mengisi ruang perut yang kosong.
Setelah sarapan, kami kembali ke rumah Bojeng untuk mempersiapkan perlengkapan yang harus dibawa seperti senter atau head lamp. Mengapa hari membawa senter? Karena Bojeng akan membawa kami ke sebuah gua yang ada di Nagari Silokek.
Kami telah siap, begitu juga Bojeng dengan sepeda motor trail kesayangannya. Pada perjalanan hari ini kami tidak hanya ditemani Bojeng tetapi juga ada Ryan yang juga ikut serta.
Kami pun segera menancap gas menuju Nagari Silokek yang berada sekitar 15 Km dari pusat kota.
Ketika kami telah melewati sebuah jembatan dengan struktur berbentuk truss yang berada di atas Sungai Batang Kuantan artinya kami telah berada di wilayah Nagari Silokek.
Melewati Silokek, pandangan mata dimanjakan oleh lukisan alam Silokek nan eksotis. Sungainya yang lebar berwarna coklat pekat dengan aliran airnya yang cukup deras membuat merinding. Sisi kanan, kiri bukit – bukit batu menjulang tinggi. Bukit berbatu cadas dalam posisi tegak kokoh, juga dalam kemiringan. Dibawahnya bentangan jalan beraspal mengikuti garis tepi sungai.
Sepanjang dinding – dinding batu di kaki bukit terbentuk celah, rongga besar dan sempit. Goa alam nan eksotis. Sempat terlintas dalam pikiran saya bagaimana jika sebongkah batu yang seolah – olah menggantung tinggi diatas sana, terjun bebas lalu jatuh saat ada yang melintas. Ngeri sekali membayangkannya.
Di sisi sebelah kiri jalan terdapat Ngalau Basurek, saya kira kami akan berhenti disana namun Bojeng terus melaju, saya pun mengikutinya hingga tiba – tiba ia membelokan sepeda motornya ke arah kiri menaiki tanjakan tanah terjal dan licin!
Saya bertanya – tanya dalam hati, mau dibawa kemana kami? Jalan ini berupa jalan tanah berpasir, di kanan kiri berupa hutan lebat, sesekali menurun dan menanjak kembali yang mengharuskan orang yang dibonceng turun supaya motor bisa melewatinya. Kemudian Bojeng mengarahkan sepeda motornya ke semak – semak yang memiliki ketinggian setinggi orang dewasa. “ondeh mandeh, mana jalurnya ini?” Kami terpaksa menggilas rerumputan liar, dan menerobos ilalang – ilalang yang juga diselingin tumbuhan berduri.
“nah kita sudah sampai nih, untungnya naik motor jadi bisa hemat waktu satu jam, biasanya orang kesini trekking dari jalan tadi” kata Bojeng sembari tersenyum. Ya pemuda ini memang senang sekali tersenyum yang diyakininya sebagai ibadah.
Saya melihat di kaki saya terdapat luka baret yang mengeluarkan darah namun tidak begitu parah.
“ah, biasa aja itu, anggap oleh – oleh, katanya penyuka adventure” ujar Bojeng seraya tertawa
Comments