Desember 2015, saya bersama Bang Teguh mendaki bersama ke Gunung Singgalang. Gunung yang terkenal dengan keindahan Telaga Dewi-nya ini kami pilih karena pada waktu itu Gunung Marapi sedang aktif.
Ketika kami berada di Cadas Gunung Singgalang kami melihat Gunung Marapi yang sedang “batuk”. Abang saya mengatakan bahwa trekking di Gunung Marapi sangat menyenangkan karena jalurnya relatif lebih mudah dibandingkan Gunung Singgalang yang memiliki tanjakan terjal berupa akar – akar pepohonan.
Bang Teguh telah berkali – kali mendaki Gunung Marapi, hal ini membuat saya berkeinginan melakukan hal yang sama jika saya mendapatkan waktu dan kesempatan. Keinginan saya pun baru terwujud lima bulan kemudian.
Baca Juga : Catatan Perjalanan Gunung Singgalang
29 Juni 2016, selepas kerja saya langsung berangkat ke bandara Soekarno Hatta mengejar jam keberangkatan pukul 19.50. Penerbangan menuju Padang berjalan mulus kemudian dilanjutkan lagi menuju Bukittinggi menggunakan travel. Tujuan saya ke Bukittinggi ialah ke tempat teman yang akan menjadi partner pendakian ini, Bang Rangga.
Keesokan harinya menjelang zhuhur kami berangkat menuju Koto Baru yang merupakan titik awal untuk pendakian Gunung Marapi. Perjalanan dari Bukittinggi ke Koto Baru memakan waktu sekitar 1 jam sudah termasuk berhenti untuk makan siang di tepi jalan.
Hujan dan Badai Menyapa
Kedatangan kami di basecamp Koto Baru langsung disambut oleh hujan dan badai. Hal ini sempat membuat kami ciut apakah tetap mendaki atau kembali ke Bukittinggi. Kami terus menunggu hingga hujan reda di sebuah kedai yang dijaga oleh seorang nenek dan dua cucunya yang berwajah lucu.
“masuak siko nak, hari hujan” Kata sang nenek
Selang satu jam kemudian hujan dan awan yang membawanya tersapu oleh angin ke arah lainnya. Langit di kaki Gunung Marapi yang semula kelam menjadi terang kembali. Kami pun langsung berkemas, packing ulang dan melakukan registrasi serta membayar retribusi.
Hai Marapi Kami Datang
Dimulai dengan do’a kami pun berjalan menyusuri jalur yang dikanan kirinya berupa ladang – ladang milik warga sekitar kaki Gunung Marapi. Sayur – sayuran, cabe, terong, tomat tumbuh sangat subur disini. 30 menit pendakian sampailah kami di Pesanggrahan, sebuah tempat datar yang cukup luas dan mampu menampung banyak tenda. Meski sedang musim hujan namun banyak juga pecinta alam yang sedang liburan disini.
Pendakian Sesungguhnya Dimulai
Lepas dari Pesanggrahan kami mulai memasuki rimba. Awalnya jalur masih datar, kemudian menyeberangi jembatan yang terbuat dari bambu. Berikutnya adalah hutan bambu yang lebat yang kemudian beralih lagi menjadi hutan.
Di beberapa titik terdapat warung yang menjual minuman serta makanan ringan untuk pendaki, kami sempat istirahat disalah satu warung dan saling bertukar cerita.
“saya sudah lama jualan disini tapi hanya di hari – hari libur aja, sehari – hari saya berladang. Semua barang ini saya bawa bersama suami saya” kata ibu penjaga kedai.
Bisa dibayangkan betapa beratnya perjuangan ibu ini untuk mencari uang.
“terpal saya hilang, sepertinya diambil oleh pendaki nakal, kayu – kayu bakar yang saya bawa juga diambilnya, apa dia gag tega ya sama saya yang sudah susah – susah bawa dari bawah” cerita dari ibu ini cukup membuat prihatin. Semoga ini hanyalah perbuatan segelintir oknum pendaki saja. Saya yakin masih banyak pendaki yang baik dan saling menghargai antar sesama.
Karena memulai pendakian terlalu sore, kami masih berada di jalur pendakian ketika malam telah menyelimuti Gunung Marapi. Kami kembali berhenti, menyiapkan senter dan head lamp guna memudahkan berjalan dikala gelap. Berjalan secara perlahan, hanya kami berdua saja di jalur waktu itu. Jalur kini berubah berupa bebatuan ukuran sekapalan tangan orang dewasa.
“ah, sudah dekat ini, mas” kata bang Rangga menyemangatkan.
Kami pun sampai di Pintu Angin, disini kami berjumpa dengan banyak pendaki yang sedang beristirahat, “Pak, darimana pak?” tanya mereka. Ya, di gunung – gunung Sumbar sapaan akrab sesama pendaki itu Pak dan Ibu. Entah siapa yang memulai yang jelas itu berlaku disini.
Di tengah – tengah antara Pintu Angin dan Cadas terjadi diskusi, Bang Rangga ingin mendirikan tenda disini saja tidak perlu sampai Cadas karena sepertinya disana seperti sudah ramai dan sulit mendapatkan lahan untuk mendirikan tenda. Saya setuju karena memang dari sini sudah terdengar pendaki – pendaki yang telah berada di Cadas berteriak – teriak, bersahut – sahutan tidak karuan. Kami pun memutuskan mendirikan tenda disini.
Setelah tenda berdiri, kami masak untuk makan malam, beruntung sekali karena kami membawa bahan makanan yang serba praktis jadi tidak perlu waktu lama untuk membuatnya. Usai makan kami masuk ke dalam kantong tidur masing – masing, beristirahat memulihkan tenaga untuk menuju puncak esok hari.
Summit Attack!
Dinginnya pagi membangunkan kami, selain itu suara derap langkap dari pendaki yang berjalan disebelah tenda kami juga seperti alarm bising yang membuat orang terbangun dari tidurnya. Kami bersiap – siap, membuat minuman hangat dan memakan roti sobek manis.
Hari telah terang ketika kami memulai kembali pendakian menuju puncak Gunung Marapi. Ternyata dari tempat kami mendirikan tenda ke Cadas sangat dekat. Kami melihat banyak tenda yang berdiri disini dimana banyak tenda yang berdiri tidak sesuai sebagaimana mestinya karena lahan yang terbatas, maka keputusan kami semalam sangat tepat.
Jalur menuju puncak berupa bebatuan vulkanis khas gunung aktif. Jalur dibuat zig zag guna memudahkan pendaki melaluinya. Kami sampai di Tugu Abel Tasman yang dibangun untuk mengenang wafatnya Abel Tasman pada tahun 1992 di puncak Gunung Marapi. Ketika itu tiba – tiba sang Marapi terbangun dari tidurnya, mengeluarkan bongkahan – bongkahan batu panas dari perut bumi yang mengenai Abel Tasman.
Kami terus berjalan menuju titik tertinggi gunung ini yakni Puncak Merpati. Setelah dari Tugu Abel Tasman jalurnya terbilang landai bahkan ada satu tempat datar yang sangat luas dan disebut lapangan bola oleh para pendaki.
Akhirnya kami sampai di Puncak Merpati, beryukur sekali bisa diberikan kekuatan oleh-Nya untuk berdiri di puncak gunung teraktif di Sumbar ini.
Selain Puncak Merpati masih ada tempat menarik lainnya yaitu Taman Edelweiss, namun untuk mencapai kesana kita harus menuruni Puncak Merpati dan berjalan sekitar 15 – 30 menit. Kami juga ingin kesana namun baru saja menuruni Puncak Merpati kabut tebal menghalangi pemandangan, jalur sama sekali tidak terlihat. Tidak mau mengambil resiko kami berhenti hingga akhirnya kabut pergi beranjak dari sana.
Ternyata Taman Edelweiss sudah terlihat dari tempat kami berhenti. Kami berjalan menuruni jalur terjal untuk mendekati taman tersebut. Edelweiss disini sangat luar biasa, ia mampu tumbuh di antara cadasnya bebatuan dan minim air.
Namun, kecantikannya terusik oleh kehadiran oknum pendaki – pendaki jahil yang memetik bunganya. Bunga yang terus abadi meski telah dicabut dari tempatnya sering dijadikan kenangan bagi pendaki dan sering diberikan kepada orang terkasih sebagai simbol keabadian cinta. Suatu hal yang sangat – sangat keliru, bukankah ia lebih cantik di tempatnya berasal?
Usai menikmati keindahan Edelweiss kami kembali ke tempat kami mendirikan tenda namun sebelumnya singgah di warung yang ada di Cadas. Rasa lapar tidak dapat ditahan lagi dan pas sekali karena warung ini menjual nasi goreng serta gorengan lainnya yang bisa mengobati rasa lapar kami.
Sudah makan yang ada ngantuk, kami kembali tertidur di dalam tenda. Jam dua siang kembali terbangun dan segera berkemas untuk kembali turun supaya tidak kemalaman di jalur.
Kembali Turun
Setelah membereskan segala perlengkapan kami mulai perjalanan untuk kembali turun dan tiba – tiba gerimis turun yang untungnya tak berubah menjadi hujan deras sehingga kami tetap bisa melanjutkan perjalanan.
Di tengah jalur kami berjumpa dengan pendaki wanita yang mengalami cedera pada kakinya, kemana teman – teman lainnya? Arrghh lagi – lagi! Kesal saya dalam hati ketika mendengar jawaban darinya.
Teman – temannya meninggalkan pendaki wanita yang malang tanpa ada seorang pun dari kelompoknya yang menemani! Apa jiwa kebersamaan para pendaki sekarang telah hilang? Tidak hanya kali ini saja saya menemui hal seperti ini, sebelumnya ketika mendaki Gunung Gede melalui Jalur Cibodas, saya menemui pendaki wanita yang terkulai lemah di jalur, teman yang mendampinginya yang juga wanita nampak kebingungan tak tahu harus berbuat apa. Ketika ditanya kemana teman – teman yang lainnya? Ia hanya menjawab “sudah sampai di Kandang Badak”. Mengapa tega sampai hati seperti itu? Saya terus bertanya – tanya pada hati sendiri.
Bersama pendaki lainnya kami bahu membahu membopong pendaki wanita yang malang ini ke sebuah warung, minimal ia ada tempat beristirahat dan ada yang menemani. Setelah dirasa aman kami melanjutkan lagi perjalanan turun ini sambil terus membayangkan pendaki wanita tadi, kasihan sekali dia.
Ketika sampai di hutan bambu nampak beberapa ranger yang hendak menjemput pendaki wanita malang itu, Alhamdulillah, lega sekali rasanya karena segera mungkin ia akan mendapatkan pertolongan.
Alhamdulillah, sebelum maghrib kami telah sampai di basecamp. Istirahat sejenak sebelum akhirnya kami kembali ke Bukittinggi.
Comments