Jika anda menyukai peninggalan budaya, maka berkunjunglah ke wilayah Kabupaten Tanah Datar. Disini banyak tersebar situs cagar budaya Minangkabau salah satunya adalah Situs Batu Batikam.
Batu Batikam berlokasi di Jalan Jenderal Sudirman, Dusun Tuo, Kecamatan Lima Kaum, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat.
Lokasinya berada di tepi jalan raya dan terdapat plang penanda situs ini sehingga mudah untuk ditemukan.
Usai puas mengeksplore Nagari Pariangan yang diklaim sebagai tempat asal usul orang Minangkabau. Selanjutnya saya akan mengunjungi beberapa situs cagar budaya seperti Balairungsari Tabek, Prasasti Pagaruyung dan Batu Batikam.
Pertama saya mengunjungi Balairungsari Tabek yang berfungsi sebagai tempat untuk musyawarah adat.
Cerita selengkap bisa di klik tautan di bawah ini ya.
Balairung Sari Tabek Wujud Harmonis Budaya Musyawarah Masyarakat Minangkabau
Dari Balairungsari Tabek saya meneruskan perjalanan menuju Situs Batu Batikam.
Saya memarkirkan kendaraan di tepi jalan dan menaiki beberapa anak tangga, ya situs ini dibangun lebih tinggi dari jalan.
Pada saat saya datang, sudah ada pengunjung lainnya. Mereka adalah pelajar dari Batusangkar yang menyempatkan mengisi waktu luangnya melihat Batu Batikam.
Salut juga dengan anak muda di zaman sekarang yang masih mau memperhatikan situs cagar budaya.
Situs ini luasnya 1800 m2, dahulu berfungsi sebagai medan nan bapaneh yakni tempat bermusyawarah kepala suku.
Susunan batu – batu seperti sandaran tempat duduk. Berbentuk persegi Panjang melingkar. Pada bagian tengah terdapat Batu Batikam (batu berlubang) dari bahan batuan andesit.
Batu ini berukuran 55 X 20 X 45 Centimeter, berbentuk hampir segitiga terbalik.
Menurut kepercayaan tradisional Minangkabau, kemunculan Batu Batikam berasal dari adanya selisih paham dalam menentukan sistem pemerintahan adat antara dua orang kakak beradik yang Bernama Datuak Parpatiah Nan Sabatang dan Datuk Katumanggungan.
Datuk Parpatiah Nan Sabatang mengusung sistem pemerintahan keselarasan Bodi Chaniago, sedangkan Datuk Katumanggungan dengan sistem pemerintahan kelarasan Koto Piliang.
Karena keduanya memiliki perbedaan dalam penerapan sistem pemerintahan, keduanya memutuskan untuk berunding dengan cara musyawarah.
Namun, perundingan tersebut tidak berjalan dengan lancar karena Datuk Parpatiah memutuskan untuk menancapkan kerisnya ke sebuah batu hingga berlubang dan batu itu dibuang ke Sungai.
Tujuannya ia melakukan hal tersebut ialah agar perselihan itu segera selesai dan tidak dilakukan lagi pada keesokan harinya.
Konon, batu yang ditancap keris itu lah yang sekarang dikenal sebagai Batu Batikam.
Dengan adanya peristiwa ini, maka perselihan adat telah dapat diselesaikan, dan kemudian terbentuklah suatu keselarasan yang didasarkan pada karakter kedua tokoh tersebut, yaitu keselarasan Suku Koto Piliang dan Suku Bodi Chaniago.
Koto Piliang merupakan keselarasan Datuk Katemanggungan yang bersifat aristokrat, sedangkan Bodi Chaniago merupakan keselarasan dari Datuk Parpatih Nan Sabatang yang bersifat demokratis.
Comments