Pada gelaran Sesi ke-43 Pertemuan Komite Warisan Dunia, di Baku, Azerbaijan, 6 Juli 2019. Warisan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto resmi ditetapkan sebagai Warisan Dunia UNESCO.
Warisan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto adalah Warisan Budaya Dunia UNESCO ke-5 di Indonesia setelah Candi Borobudur (1991), Candi Prambanan 1991), Situs Sangiran (1996) dan Sistem Subak di Bali (2012).
Semenjak ditetapkan sebagai Warisan Dunia oleh UNESCO, semakin banyak wisatawan yang ingin berkunjung ke kota yang berjarak sekitar 100 kilometer dari Kota Padang ini.
Travel agent di Sumatera Barat mulai memasukan Sawahlunto sebagai salah satu destinasi yang dikunjungi dalam Paket Tour Minangkabau yang ditawarkannnya.
Kita semua pastinya sangat berharap, semua elemen masyarakat dan pemerintah sama – sama komitmen untuk menjaga warisan budaya dunia ini, karena tentu akan mendatangkan kebaikan, pendapatan dan kesejahteraan bagi masyarakat.
Kilas Balik Sawahlunto
Setelah kita berbangga dengan bertambahnya Warisan Dunia Indonesia. Kini, mari sejenak berimajinasi ke pertengahan abad ke-19. Masa dimana Sawahlunto hanyalah sebuah daerah lembah terkunkung alam perbukitan.
Lereng – lereng bukitnya menjadia area persawahan penduduk sekitarnya. Disini nyari tidak ada pemukiman penduduk. Saat matahari terbenam, mereka kembali ke perkampung seperti Padang Sibusuk, Silungkang, Lunto dan Kubang.
Ketika itu Sawahlunto belum menjadi bagian geopolitik, ekonomi dan administrasi yang diperhitungkan oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Sawahlunto Memasuki Era Keemasan
Semua itu berubah ketika seorang ahli geologi muda Belanda bernama W.H De Greve menemukan endapan batubara di tepi Sungai Ombilin Sawahlunto pada tahun 1868.
Hasil hipotesanya menggembirakan sekaligus mencengankan, ratusan juta ton emas hitam bersemayam di bumi Sawahlunto dan tidak akan habis ditambang selama berabad – abad.
Pemerintah Hindia Belanda lantas menanamkan modal 5,5 juta Gulden untuk membangun pemukiman dan fasilitas perusahaan tambang batubara Ombilin seperti jalur kereta yang dibuat hingga ke Pelabuhan Emma Haven (Teluk Bayur).
Para pekerja tambang didatangkan dari berbagai daerah, menjadikan Sawahlunto memiliki keberagaman ras dan kultur. Tak hanya sampai disana. Dari lubang – lubang hitam galian batu bara itu, bahasa baru lahir.
Sebuah bahasa hasil dari pencampuran bahasa Jawa, Sunda, Madura, Bali, Bugis, Batak, China, Minangkabau, Belanda dan bahasa Melayu sebagai bahasa dasar.
Oleh Dr Elsa Putri bahasa baru ini disebut Bahasa Tansi. Hingga sat ini masih dapat kita dengar di Sawahlunto, orang – orang yang bercakap – cakap menggunakan bahasa yang lahir dari percakapan para kuli tambang dari berbagai lintas kultur.
Pada Oktober 2018, Bahasa Tansi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia (WTBI). Bahasa asal Sawahlunto ini melewati seleksi ketat dari 169 bahasa yang didaftarkan.
Selama lebih dari 100 tahun Sawahlunto menopang batubara dunia, meski berada di pedalaman, pada masa kejayaannya kota ini jauh berkembang lebih pesat dibanding kota – kota lainnya di Pulau Sumatera.
Sawahlunto Memasuki Masa Kelam
Namun keyajaan tambang batubara mulai tumbang pada 1995. Pamor emas hitam kian redup, hasil batubara merosot tajam dan puncaknya pada 2003 kegiatan tambang batubara ditinggalkan.
Hal itu tentu saja membuat kota kecil ini goyah dari segi perekonomian karena lebih dari 80% penduduknya bergantung pada sektor pertambangan.
Sekitar 10 ribu penduduknya meninggalkan Sawahlunto, angka kemiskinan naik tajam, pertumbuhan ekonomi minus.
Kota seluas 273,45 km2 ini nyaris menjadi kota mati seiiring berakhirnya masa keemasan tambang batubara peninggalan Pemerintah Kolonial Belanda.
Sawahlunto Bangkit Kembali
Pada awal abad ke-21 Sawahlunto kemudian menukar arah haluan dari kota tambang yang mendatangkan buruh, menjadi kota wisata yang mengundang turis.
Caranya, dari tahun 2002 hingga saat ini, Pemerintah Kota Sawahlunto bersama masyarakatnya bahu – membahu untuk menata kembali semua gedung – gedung tua peninggalan Belanda yang ada di kota ini sehingga terlihat menarik.
Di antara gedung – gedung kolonial, ada yang sudah berubah fungsi menjadi museum seperti, Museum Kereta Api Sawahlunto (2005) yang dulunya merupakan stasiun, tempat dimana kereta pembawa batubara memulai perjalanannya menuju Sawahlunto untuk dikapalkan. Museum Kereta Api Sawahlunto merupakan museum dengan tema kereta api kedua selain Museum Kereta Api Ambarawa. Disini pengunjung diajak untuk melihat lokomotif legendaris yang diberi nama Mak Itam.
Selain itu, ada Museum Goedang Ransoem (2005) yang memuat peralatan – peralatan masak berukuran raksasa yang digunakan pada saat gedung ini menjadi dapur umum yang menyuplai makanan bagi ribuan pekerja tambang dan pasien rumah sakit.
Tak jauh dari Museum Goedang Ransoem, ada Galery Info Box yang menyatu dengan Lobang Tambang Mbah Soero (2008) dimana wisatawan bisa memasuki lobang tersebut dan merasakan sensasi sebagai pekerja tambang dalam perut bumi.
Saya datang ke Sawahlunto di penghujung tahun 2015 yang basah. Saat itu kota ini sedang semarak dengan serangkaian acaranya dalam rangka menyambut hari ulang tahun Kota Sawahlunto yang ke-127.
Setiap merayakan hari jadinya, Pemerintah Kota Sawahlunto banyak menggelar berbagai acara seperti makan bajamba. Selain itu ada juga festival musik internasional yang mendatangkan pemusik dari berbagai belahan negara dan berbagai lomba seru lainnya seperti pacu anjing.
Kini, Kota Sawahlunto telah berpaling dari kisah kelam, lambat laun Sawahlunto bangkit menjadi kota wisata tambang yang berbudaya terkemuka. Pemerintah kota sangat serius mengembangkan pariwisata, kota ini tidak hanya mengandalkan festival musik dan gedung – gedung sepuh yang telah dipercantik kembali tetapi juga mampu menciptakan obyek wisata yang memanfaatkan keindahan bukit – bukit yang mengungkung kota ini, Puncak Cemara salah satunya.
Dampak positif kini telah dirasakan, misalnya tingkat kemiskinan semakin turun berkat bertambahnya jumlah kunjungan wisatawan. Hadirnya wisatawan yang kesini juga menambah bisnis baru, salah satunya homestay. Dimana wisatawan bisa membaur dengan keramahan pemiliknya dengan fasilitas seperti hotel.
Pada 2014, melalui Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No345/M/2014, Kota Lama Tambang Batubara Sawahlunto ditetapkan sebagai Cagar Budaya kategori kawasan dengan Peringkat Nasional.
Karena peringkat nasional, maka kawasan tersebut diusulkan ke UNESCO untuk menjadi Warisan Dunia. Pada 30 Januari 2015 Kota Lama Tambang Batubara Sawahlunto masuk dalam Daftar Sementara UNESCO.
Pada masa penantian ditetapkan sebagai Warisan Dunia UNESCO. Pemerintah Kota Sawahlunto semakin giat dalam pelestarian cagar budaya. Memang, Sawahlunto bercita – cita pada 2020 menjadi kota wisata tambang yang berbudaya.
Dan, selang 4 tahun setelah masuk ke daftar sementara, kini Sawahlunto telah ditetapkan sebagai Warisan Dunia UNESCO.
Apa yang dilakukan di Sawahlunto adalah bukti bahwa dengan kerjasama antara pemerintah setempat bersama dengan masyarakat untuk menjaga Cagar Budaya Indonesia yang dimilikinya dengan baik, bisa membawa kota itu bangkit dari masa kelam dan membawa harum nama kota tersebut. Bahkan hingga ke tingkat dunia.
Terima kasih kepada anda yang telah membaca artikel ini. Jika anda ialah seorang yang mencintai Cagar Budaya Indonesia dan ingin menuangkan ide sehingga cagar budaya semakin dijaga, dirawat dan tak membiarkannya begitu saja sehingga musnah.
Ayo ikuti kompetisi “Blog Cagar Budaya Indonesia Rawat atau Musnah!” dengan total hadiah Rp 18 juta kepada yang beruntung.
Comments