Sebuah kampung di mana masyarakatnya masih menjaga warisan budaya dan tradisi nenek moyang hingga saat ini akan menjadi sebuah magnet untuk dikunjungi oleh para wisatawan. Salah satu kampung yang menjadikannya sebagai destinasi wajib saat menjelajahi Flores adalah Kampung Adat Bena.
Secara administratif dan geografis, Bena berada di wilayah Desa Tiworiwu, Kecamatan Jerebu’u, Kabupaten Ngada. Dihitung jaraknya dari Kota Bajawa sekitar 16 Km dari arah selatan lewat Watujaji. Untuk mencapai ke lokasi, traveler bisa menyewa mobil atau motor yang banyak tersedia di Bajawa.
Tidak perlu khawatir tersasar saat menuju Bena, karena kampung ini merupakan tempat wisata yang sangat digemari oleh wisatawan. Pemerintah telah menyediakan plang penunjuk menuju Bena. Lokasinya pun mudah dijangkau karena Kampung Adat Bena berada di pinggir jalan.
Untuk masuk ke Kampung Adat Bena, setiap pengunjung wajib melapor dan mengisi buku registrasi serta membayar sumbangan yang bersifat suka rela. Di buku registrasi nampak terlihat nama–nama beserta negara asalnya. Kebanyakan pengunjung Kampung Bena ialah orang asing dari Eropa dan Amerika Selatan, ada perasaan bangga dan miris ketika melihat hal ini. Bangga, karena banyak orang asing yang datang jauh – jauh untuk mengetahui maupun mempelajari tradisi di kampung ini. Miris, kemana wisatawan lokal selama ini? Apakah mereka tidak tertarik untuk mempelajarinya juga? Atau tidakkah tertarik untuk saling berinteraksi sesama satu bangsa? Entahlah.
Kampung Bena memiliki bentuk memanjang dari depan (arah Utara–sekaligus pintu masuk) hingga ke belakang (selatan). Kampung ini terletak di atas lembah. Berbentuk perahu besar jika dipandang dari atas.
Kampung ini terdiri dari 45 rumah yang berdiri mengelilingi halaman kampung dengan tingkat ketinggian yang berbeda – beda. Rumah di Kampung Bena disebut ‘sao’ yang berfungsi sebagai rumah. Di mana bagi masyarakat adat Bena, berfungsi sebagai pusat komunikasi keluarga, kerabat dan menerima tamu
Tiap rumah yang dilewati, selalu saja kami disapa oleh para ibu dengan penuh senyum ramah. Ada ibu yang sedang asik menenun, ada juga yang sedang mengambil hasil jemuran berupa biji kemiri yang dijemurnya sedari siang tadi.
Untuk mengakrabkan diri, kami mencoba mengobrol dengan mereka. ‘Jika ada kesempatan, bulan Desember tepatnya tanggal 27, silahkan kembali ke sini karena pada hari itu akan ada acara reba,’ ucap seorang ibu kepada kami.
Reba adalah momen penting untuk semua anggota keluarga dan kerabat bertemu dalam kampung. Peristiwa persatuan ini penting bagi setiap suku/klan yang ada di Bena untuk membicarakan segala masalah atau rencana mereka di masing – masing rumah inti. Upacara ini juga untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan atas panen kebun mereka selama setahun. Sekaligus juga permohonan berkat untuk proses berkebun yang lebih baik ke depan.
Hampir di tiap rumah di Kampung Bena selalu saja tergantung kain tenun yang memang dijual kepada para pengunjung. Motif kain tenun di Kampung Bena berupa jara (kuda) wa’I manu (cakar ayam), ghi’u (garis dinamis), ube, ngadu, dan bhaga yang pada motif – motif tersebut memiliki makna.
Seperti jara (kuda) yang merupakan sesuatu yang berharga bagi penduduk Bena, karena kuda biasa dijadikan alat transportasi serta mas kawin. Wa’I manu mempunyai makna sebagai tanda bahwa mereka sedang berada pada tahapan langkah awal atau taraf mencari ilmu untuk menghidupi kehidupan mereka ke depan.
Perjalanan kami mengelilingi Kampung Bena selesai hingga di ujung kampung ini. Di sini ada tempat duduk yang ada atapnya, berada di pingir tebing. Di sini traveler bisa melihat Gunung Inerie serta lembah dan bukit – bukit yang mengelilingi Kampung Bena.
Puas mendapatkan pengetahuan tentang Kampung Bena serta mengambil gambar, kami kembali ke pintu masuk lalu menuju obyek wisata lain yaitu Panorama Manulalu yang berlokasi tidak jauh dari Kampung Adat Bena.
Comments