Hari keempat di Belitung. Hari yang menjadi puncak dari perjalanan ini, bahkan bagi saya sendiri hari inilah yang paling dinantikan, karena siang nanti akan diadakan acara Festival Laskar Pelangi yang akan ditutup dengan Tari Kolosal Pendulang Timah yang melibatkan ratusan anak – anak asli Belitung. Menyaksikan Tari Kolosal Pendulang Timah inilah yang menjadi alasan utama mengapa saya kembali ke Belitung.
Di jadwal yang disebar via media sosial menyebutkan Tari Kolosal Pendulang Timah akan dimulai pada jam 14.00, maka untuk mengisi jeda waktu pagi hingga siang kami jalan – jalan menuju Pantai Penyabong yang berada di Dusun Batu Lubang, Desa Padang Kandis, Kecamatan Membalong. Jarak Pantai Penyabong dari hotel tempat kami menginap sekitar 56 Km, lumayan jauh juga tapi tak akan jadi masalah karena perjalanan bakalan lancar jaya.
Menuju Pantai Penyabong
Usai sarapan kami langsung memulai perjalanan menuju Pantai Penyabong, posisi seperti kemarin, Ijal sebagai driver. Saya sebagai Shotgun yang harus senantiasa terjaga,memiliki kemampuan layaknya seorang host dan tentunya skill navigasi yang mumpuni (padahal Cuma ngasih tahu ke driver dari hasil google maps). Dan Ipuy yang berada di belakang, nap like a boss.
1,5 jam perjalanan akhirnya kami tiba di lokasi. Sebenarnya ini adalah kunjungan saya kali ketiga, dan saat ini bagi setiap pengunjung yang membawa kendaraan dikenakan tiket masuk, untuk mobil tiket masuknya Rp 20.000, tak peduli ada berapa orang di dalam mobil tersebut.
Pantai Penyabong sama halnya dengan pantai – pantai yang ada di Belitung, ia memiiliki gugusan bebatuan granit yang sangat banyak bertebaran di sekitar pantai. Namun, yang membedakan pantai ini dengan pantai lainnya adalah adanya batu granit besar yang memanjang dan menyambung satu sama lain dengan batu granit lainnya dan menjorok ke arah laut yang menyerupai dermaga alami, hemm.. dermaga? Saya lebih senang menyebutnya seperti jetty. Apa itu jetty? ya bagian dari dermaga juga, hehe..
Kami menaiki batu granit yang menjorok ke laut itu, di awal tanjakan terdapat sebuah papan bertuliskan “Motor dilarang naik ke atas batu”, agak aneh memang ada larangan seperti itu, sampai hati jika ada manusia yang membawa motornya sampai ke atas batu ini.
Kami terus berjalan hingga ke ujung batu yang langsung menyentuh perairan Laut Jawa yang saat itu keadaan airnya sedang berwarna kehijauan dan agak beriak. Kapal – kapal nelayan mulai kembali pulang. Ya, selain menjadi pekerja di lahan sawit, sebagian besar warga sekitar Pantai Penyabong mencari nafkah sebagai nelayan sehingga di pantai ini sering kita melihat kapal – kapal nelayan yang sedang menepi.
Puas berfoto di atas batu. Kami mencari spot untuk santai, kebetulan saya membawa hammock jadi saatnya mencari pohon yang pas untuk menggantung.
Makan Siang di Pantai Penyabong
Di saat saya dan Ijal sedang menikmati santai, Ipuy nampak menuju ke salah satu warung. Saya menduga pasti ia memesan makan untuk kami. Dugaan saya benar, dengan senyum puas ia kembali ke kami dan mengatakan bahwa ia telah memesan makan siang.
Ikan yang dipilih Ipuy namanya Ikan Jebong, ia meminta kepada yang masak untuk dijadikan dua menu yaitu ikan bakar dan asam pedas. Sebagai pelengkap, Ia juga memesan sayur pelecing kangkung.
Setelah menunggu sekitar 20 menit, pesanan pun datang. Wah, menggugah selera. Lihat aja di foto bawah ini.
Saya dan Ijal kurang selera dengan asam pedas karena kulit ikannya tidak dibersihkan secara sempurna sehingga menghasilkan rasa yang agak amis. Jadinya kami berdua menyantab ikan bakar dan yang menghabiskan asam pedas Ipuy seorang.
“apanya yang amis, enak begini pun” kata Ipuy dengan aksen Melayunya yang kental
Inilah enaknya jalan – jalan sama tukang makan, apapun yang dipesan selalu habis jadinya tidak ada yang mubazir atau terbuang. Total yang harus kami bayar untuk semua menu makan siang ini Rp 180.000 atau per orangnya patungan Rp 60.000, lumayan sih, tapi sebanding lah dengan rasanya meskipun saya harus merelakan asam pedas dimakan Ipuy seorang.
Usai membayar apa yang kami makan, kami sempat berbincang – bincang dengan ibu yang mpunya warung dan ketika kami menyebutkan asal kami dari Jakarta, entah mengapa ibu itu begitu sumringah. Mungkin sangat menyenangkan mengetahui orang lain yang datang jauh – jauh main ke tempat asal ibu itu dan lebih – lebih orang itu juga makan di tempatnya, habis pula makanannya tanpa sisa. Tapi emang sih, bagi si pembuat makanan mengetahui apa yang ia masak dan dihabiskan itu rasanya bahagia banget.
Batu Beginde
Sudah tengah hari, saatnya menuju Kota Tanjung Pandan tepatnya di Bundaran Batu Satam tempat berlangsungnya Tarian Kolosal Pendulang Timah.
Oh iya, di perjalanan menuju Pantai Penyabong kita dapat melihat pemandangan Batu Beginde yang berdiri kokoh di sisi kanan jalan. Batu Beginde diceritakan dalam sebuah legenda sebagai awal mula Pulau Belitung. Jadi diceritakan bahwa pada zaman dahulu terdapat potongan Pulau Bali yang hanyut hingga ke Sumatra. Di atas potongan pulau tersebut ada seorang putri yang diasingkan ikut terbawa. Nama Belitong sendiri diyakini berasal dari kata Bali Terpotong yang kemudian berubah menjadi Belitong. Entahlah, benar atau salah cerita ini tapi setidaknya menambah lagi khasanah cerita tentang asal usul nama suatu daerah yang menjadi ciri khas Indonesia.
Kami berhenti terlebih dahulu untuk berfoto dengan latar Batu Beginde, usai mengambil beberapa gambar kami lanjutnya perjalanan menuju Tanjung Pandan.
To be Continue
Comments