Meski kampung asli saya ada di Padang, tapi di tahun 2016 yang didominasi oleh hujan ini saya merasa memiliki kampung halaman yang kedua yaitu Belitung. Di tahun ini saya sudah bolak – balik sebanyak tiga kali untuk mengunjunginya. Pertama pada saat bulan puasa dengan maksud survey mencari hotel, bus, kapal serta retoran. Bulan lalu, saya baru saja membawa 30 orang dari Jakarta. Dan kali ini saya kembali kesana dengan maksud menyaksikan Festival Negeri Laskar Pelangi 2016.
Thread ajakan saya buat di berbagai forum satu bulan sebelum acara. Banyak yang menghubungi saya, bertanya – tanya, mengatakan ingin ikut tapi hingga satu minggu sebelum keberangkatan tidak ada satu pun yang menyatakan ikut. Capek euy di PHP-in. Akhirnya di detik – detik terakhir teman saya menyatakan ikut, ia adalah MF Abdullah alias Ipuy, seorang pengusaha muda yang memiliki tagline jalan – jalan, makan dan keluyuran.
Kamis, 20 Oktober 2016, setelah waktu istirahat kerja, saya “melarikan diri” dari kantor menuju Bandara Soekarno Hatta. Ipuy telah sampai sebelum saya, ia sudah menunggu di Terminal 2F.
Tepat jam 15.20, pesawat Sriwijaya Air terbang mengudara melintasi Laut Jawa diatas ketinggian 35000 kaki menuju Pulau Belitung. Satu jam kemudian kami mendarat dengan mulus di Bandara HAS Hanandjoeddin.
Keluar dari badan pesawat banyak penumpang yang berlomba – lomba untuk berfoto. Wajar sih, saya aja yang sudah lima kali menjejakan kaki disini ikutan foto. Kali aja jadi duta bandara ini. Hoho..
Tidak ada bagasi memudahkan langkah kaki keluar dari bandara, para tukang taksi menawarkan jasanya kepada kami, tapi mereka tidak memaksa, sekalinya dikatakan tidak maka mereka tidak menawarkannya lagi.
Pak Wawan dengan mobil mewah berwarna putih telah datang menjemput kami, dengan senyum ramah ia menyambut kami lalu mengantar kami ke Hotel 21 Hanggar yang merupakan hotel terdekat dari bandara, hanya ditempuh tidak kurang dari 5 menit saja.
Tiba di hotel, kemudian check in, ternyata kamar yang diberikan sama seperti kamar yang saya tempati satu bulan yang lalu, Nomor 21. Menginap di Hotel 21 Hanggar, di kamar 21, berasa spesial jadinya.
Usai leyeh – leyeh sebentar, kami menuju ke pusat kota dengan sepeda motor pinjaman milik resepsionis. Belum tiba di Pusat Kota, adzan maghrib telah berkumandang sehingga kami harus berhenti terlebih dahulu untuk memenuhi panggilan-Nya. Bukankah Shalat dulu baru kita meraih kemenangan, kawan?
Nah, setelah 377 Kata terlewati, barulah cerita ini sesuai dengan judulnya. Selepas shalat, Ipuy mendadak lapar dan segera ingin makan dan harus ditempat yang khas Belitung. Saya pun membawanya ke Rumah Makan Timpo Dulu yang berada di Jalan Lettu Mad Daud – Kampung Parit, Tanjung Pandan, Belitung.
Ini adalah kunjungan saya kedua kalinya di rumah makan yang katanya memiliki resep yang terjaga sejak tahun 1918 ini. Kunjungan saya pertama kali itu ketika membawa rombongan ke Belitung tahun lalu. Tapi waktu itu Cuma minum – minum aja gag nyobain sajian menu makanan yang tersedia disini.
Setelah mendapat posisi wuenak, kami melihat – lihat menu, hemm.. semuanya menarik, tiba – tiba saja Ipuy memesan Dulang Set yang merupakan menu andalan dari Rumah Makan Timpo Duluk. Dulang Set terdiri dari berbagai masakan khas Belitong yaitu Gangan Ikan, Ayam Ketumbar, Sate Ikan, sayur sambal Ati Ampela, lalapan dan sambal serai. Dulang set ini bisa kamu pesan untuk porsi berdua atau berempat.
Sedikit informasi mengenai kata dulang, jadi dalam tradisi khas Belitung, makan di atas nampan itu disebut makan bedulang yakni makan bersama dalam satu dulang dengan cara dan etika tertentu. Biasanya satu dulang diperuntukkan untuk empat orang. Dimakan sambil duduk bersila dan saling berhadapan, oh iya, etikanya ialah yang muda melayani yang lebih tua. Jadi yang muda itu mengambil nasi serta lauknya lalu diserahkan kepada yang lebih tua.
Sembari menunggu pesanan datang kami melihat – lihat isi dari ruangan yang dipenuhi oleh pernak – pernik unik yang menghiasi dinding. Ada alat perikanan, alat pertanian hingga perabotan dapur. Ada topi caping, alat penangkap ikan, bakul nasi, sendok batok kelapa, golok, terompah, cetakan kue, tampa, dayung, bubu, ambung hingga sepeda onthel! Semuanya ada di dinding.
Bagi kamu yang suka meninggalkan jejak berupa corat – coret, disini kamu bisa melampiaskannya. Jadi deretan caping, tampa, tampi beras dan bakul nasi bisa kamu coret – coret sesuka hati mu. Tapi kok yang dari coret – coretan yang ada isinya nama artis – artis beken ya? Ah jadi ga pede mau ikutan nyoret.
Pesanan kami datang, difoto – foto dulu, berdo’a lalu makan, dalam waktu singkat semua makanan yang ada dalam dulang kecuali sambal ati habis tak bersisa. Sekarang tinggal bayar aja lagi dulang set-nya, untuk dulang set porsi berdua ini kami harus merogoh kocek sebesar Rp 135.000, sedangkan jika memesan untuk porsi berempat kena Rp 240.000, tapi harga ini belum termasuk pajak restoran sebesar 10% ya.
Comments