Langit gelap telah menghilang tersapu oleh terang. Hari itu begitu cerah, tidak seperti kemarin yang berawan kemudian hujan.
Anak – anak Pramuka yang juga berkemah semalam disini dengan riang mandi pagi di Sungai Cikaniki, sementara itu tiga tenda yang berdiri di sebelah kami belum kelihatan juga penghuninya. Mungkin masih terlelap dalam tidur.
Mang Asep kembali datang kepada kami membawa satu piring berisikan nasi goreng lengkap dengan telur dadar. Porsinya agak besar, beruntunglah kami hanya memesan satu saja karena sudah cukup untuk dimakan berdua.
Usai sarapan, kami sempatkan untuk bermain air sungai sebentar hanya untuk sekedar menyeka badan. Rasanya segar banget dan bikin semangat.
Jalur Interpretasi Citalahab – Cikaniki
Jika kemarin malam kami menuju Stasiun Penelitian Cikaniki melalui jalur perkebunan teh, pagi ini kami akan ke tempat yang sama namun melalui Jalur Interpretasi yakni jalan setapak yang berada di tengah hutan.
Sebelum masuk ke dalam hutan, kami berhenti terlebih dahulu untuk berdo’a kepada yang Maha Kuasa agar diberikan keselamatan, terhindar dari musibah dan tentunya bertemu dengan Owa Jawa atau Surili yang keberadaannya sangat langka dan butuh keberuntungan untung berjumpa dengannya.
Di awal jalur kami menjumpai banyak tumbuhan Kapulaga yang masuk ke dalam keluarga Zingiberaceae (jahe – jahean). Di Indonesia, Kapulaga sering digunakan sebagai rempah untuk masakan tertentu dan juga untuk campuran jamu atau obat – obatan herbal tradisional.
Selama di perjalanan menelusuri jalur interpretasi ini, Mang Asep senantiasa memberikan informasi mengenai manfaat berbagai tumbuhan yang kami jumpai. Misalnya manfaat yang ada pada daun ini (lihat foto di bawah)
Katanya pada zaman sebelum adanya pengunaan sabun modern seperti saat ini, orang – orang menggunakan daun ini sebagai sabun, digunakan dengan cara mengambil beberapa helai daun lalu diberi air lauk kucek – kucek nantinya akan keluar busa layaknya sabun. Penasaran juga sih, tapi saya belum mencobanya.
Lanjut lagi berjalan, kali ini kami menemui berbagai rotan, meski pun sama – sama rota yang tumbuhnya saling berdekatan namun ternyata berbeda jenis.
“kalau yang ini rotannya (rotan dengan duri berwarna hitam) bisa dibuat furniture, kalau yang satunya lagi (rotan dengan duri berwarna putih) dia bisa dimakan” terang Mang Asep
Rasanya memang tepat sekali berjalan melalui jalur interpretasi yang memiliki panjang 1,8 Km ini ditemani oleh pemandu, karena banyak sekali informasi atau ilmu yang didapat. Apalagi jika pemandunya sangat interaktif seperti Mang Asep ini.
Meski matahari sudah meninggi, namun kami masih menemukan sekumpulan burung – burung yang masih berada dalam sarangnya. Nampak jelas burung Sepah Gunung yang memiliki warna biru dan orange, ada juga burung berwarna hitam dengan jambul lucu di kepala.
“disini emang tempatnya kalau mau bird watching, tapi kalau mau lebih banyak lagi burungnya harus lebih pagi, soalnya kalau jam segini banyak yang sudah pergi mencari makan” terang Mang Asep dengan logat Sunda-nya yang kental
Kami terus berjalan sembari mengagumi keberadaan hutan yang masih sangat terjaga, pohon – pohon tumbuh dengan tegak, diselingi dengan tumbuhan lainnya seperti pada sebuah batang pohon yang ada di foto bawah ini dimana ia tumbuh bersama paku – pakuan. Cantik sekali.
Kami telah melewati setengah perjalanan, sedari tadi hanya terdengar suara tonggeret yang menempel di batang – batang pohon sambil mengeluarkan bunyi yang nyaring sekali. Pernah dengar? Kalau pernah nonton Doraemon terutama pada scene di bukit belakang sekolah Nobita biasanya terdengar suara serangga. Nah, seperti itulah suaranya. Belum pernah dengar juga? Ayo masuk ke hutan sama kami.
Tiba – tiba terdengar suara yang berasal dari pucuk sebuah pohon, suara tersebut makin lama semakin nyaring. Iya.. iya.. itu, suara Owa Jawa. Tapi kami baru mendengar suaranya saja, kami belum bersua dengannya.
Berdiam dan menunggu sembari terus melihat ke atas, ke sumber suara berasal. Dan terlihatlah satu kawanan Owa Jawa yang terdiri dari pasangan jantan dan betina serta dua anaknya. Kami beruntung sekali bisa menemukan mereka di habitatnya secara langsung mengingat jumlah mereka yang kian hari kian sedikit.
Owa – owa itu kesana kemari melintasi dahan – dahan dengan mudahnya, sesekali ia terdiam kemudian kembali mengayunkan tangannya yang panjang, berpindah ke pohon yang lain hingga akhirnya mereka hilang dari pandangan kami.
Bersyukur, bersyukur sekali bisa melihat mereka. Dan jujur saja, saya merindukan suara nyanyiannya yang begitu merdu serta gerak – gerik mereka ketika berpindah – pindah dari dahan yang satu ke dahan yang lainnya.
Kami terus lanjutkan perjalanan hingga tiba di Canopy Trail Cikaniki. Sayangnya, saat itu canopy trail sedang rusak akibat terkena hantaman pohon yang roboh sehingga tidak dapat dilalui. Kami berharap canopy trail ini bisa segera diperbaiki dan jika telah selesai perbaikannya kami akan kembali kesini.
Akhirnya kami tiba di Stasiun Penelitian Cikaniki. Disini ada semacam koleksi tumbuhan lumut serta koleksi berbagai anggrek salah satunya Anggrek Tanah Putih ini.
Rasanya puas sekali melintasi jalur interpretasi hari itu, terlebih bersua dengan satu keluarga Owa Jawa. Meski tidak bisa menaiki canopy trail tak menjadi masalah, Owa Jawa telah menjadi obatnya.
Comments