Kedua gunung ini memiliki kesamaan, mereka sama – sama gunung berapi yang aktif, keduanya juga merupakan gunung favorit bagi para pendaki, namanya juga hampir sama yakni Gunung Marapi dan Gunung Merapi. Yang membedakan ialah lokasi kedua gunung tersebut. Jika Gunung Marapi berada di Pulau Sumatera tepatnya di Kabupaten Agam, Sumatera Barat lain halnya Gunung Merapi yang berada di Jawa Tengah.
Baca juga : Catatan Perjalanan Gunung Marapi
Saya sangat bersyukur sekali karena ditahun ini diberikan kesempatan oleh-Nya untuk mendaki kedua gunung ini. Saya mendaki Gunung Marapi pada awal Mei 2016. Kemudian pendakian saya selanjutnya ialah Gunung Merapi di pertengahan Agustus 2016.
Inilah catatan perjalanannya, monggo disimak, kawan
Menuju Gunung Merapi
Banyak cara untuk menuju Gunung Merapi, untuk perjalanan saya kali ini caranya ialah sebagai berikut
- Pasar Senen – Semarang Poncol dengan Kereta Api Tawang Jaya, berangkat jam 23.00 tiba di Semarang Poncol pada pukul 06.00, harga tiket Rp. 120.000 namun ketika itu saya mendapatkan diskon Rp 20.000 berkat promo yang diadakan oleh tiket.com
- Semarang Poncol – Terminal Terboyo, naik minibus seperti metromini, ongkosnya Rp 7.000, saya rasa harusnya gag segitu, mungkin karena saya bukan orang asli sana jadi diminta segitu.
- Terminal Terboyo – Terminal Sunggingan Boyolali, bus Safari dengan ongkos Rp 25.000
- Minibus Pasar Sunggingan Boyolali – Pasar Cepogo, ongkos Rp 15.000, ini adalah ongkos yang tidak lazim, karena seharusnya ga nyampe segitu. Cerita lengkapnya disimak aja ya.
- Minibus Pasar Cepogo – New Selo, ongkos Rp 10.000
Lumayan kan naik turun kendaraannya.
Cerita Perjalanan
Seorang teman saya pernah berkata, “jika hati mu patah, ajaklah kaki mu melangkah”. Mungkin ada benarnya, ketika itu suntuk melanda, lagi – lagi gagal dalam meraih simpati hati seseorang. Oleh karena itu, saya putuskan untuk kembali mengajak kaki saya melangkah ke gunung dan gunung yang dipilih ialah Gunung Merapi yang berada di Jawa Tengah. Dan di perjalanan ini saya berangkat seorang diri tanpa teman, paling di jalan bakalan ketemu temen baru. Pikir saya waktu itu.
Berbeda dengan pendaki yang pada umumnya mengincar kereta api Progo tujuan Lempuyangan Yogya, saya lebih memilih mencari tiket kereta api Tawang Jaya tujuan Semarang Poncol, karena persaingan mendapatkan tiket Tawang Jaya jauh lebih mudah dibanding tiket Progo yang sulitnya minta ampun, tiket progo keberangkatan hari Jum’at malam selalu langsung habis usai dibuka penjualannya.
Perjalanan dengan Tawang Jaya berjalan dengan lancar. Pagi itu Semarang terasa sejuk berkat rinai hujan yang turun. Suasana stasiun sangat ramai, diantara keramaian itu terlihat beberapa kelompok pendaki dengan tas – tasnya berukuran besar. Saya mencoba menyapa mereka, berharap saya diajak ke dalam kelompoknya, namun mereka acuh. Hemm.. mungkin mereka rombongan pendaki gunung open trip yang tidak menghendaki peserta illegal seperti saya.
Saya melangkah keluar dari stasiun, beberapa orang tukang becak, bemo, angkot, dan taksi mencoba menghadang saya dan menawarkan jasanya namun saya tolak dengan halus. Tujuan saya selanjutnya adalah Terminal Terboyo, dari Stasiun Semarang Poncol saya naik minibus yang pagi itu penuh sesak oleh para siswa yang akan menuntut ilmu di sekolahnya.
Saya tiba di Terminal Terboyo, lalu segera mencari bus tujuan Solo yang kebetulan ada dan langsung berangkat tanpa harus ngetem lama. Ketika bus ini hendak keluar dari terminal naiklah dua orang pemuda berpakaian flannel membawa tas gunung. Sepertinya mereka memiliki tujuan yang sama, mereka duduk di bangku tepat di depan saya.
Salah seorang diantaranya memulai percakapan kepada saya
“mau kemana bang?” Tanya-nya
“entah, saya masih galau, apa Gunung Merapi atau Merbabu” jawab saya
“udah, Merapi aja, bang. Barengan sama kita” ajaknya dengan semangat
“okelah, saya gabung sama kalian, yang penting ada teman jalan” saya mengiyakan ajakannya
Kami pun saling berkenalan, mereka adalah Fathul dan Fian
Di tengah perjalanan bus yang kami tumpangi bermasalah sehingga harus dibawa ke bengkel terlebih dahulu untuk diperbaiki. Setelah itu semua lancar terkendali hingga sampailah kami di Terminal Sunggingan Boyolali.
Dari terminal kami naik angkot ke Pasar Sunggingan dengan angkot yang ternyata jaraknya dekat banget. “ealaah kecele”
Sampai di Pasar Sunggingan pas banget dengan minibus tujuan Selo. Rasanya beruntung sekali bisa mendapatkan minibus yang langsung ke Selo, karena itu artinya gag perlu turun naik lagi di Pasar Cepogo.
Namun, ketika tiba di Pandanarang, kami dipaksa turun oleh seorang sopir tua, kami pindah ke microbus yang disopiri olehnya, kami nurut – nurut saja, berharap tidak ada masalah terutama di ongkos nantinya.
Tiba di Pasar Cepogo, kami membayar Rp 15.000 untuk bertiga, karena memang ongkosnya segitu, saya melihat penumpang lain membayar demikian. Namun, apa yang terjadi, si sopir tua itu marah – marah kepada kami. Dia meminta Rp 15.000 per orangnya, ada seorang ibu paruh baya mencoba membela kami, “lho kok? Kan emang ongkosnya Rp 5.000” kata ibu tersebut.
“ga, siapa yang bilang Rp 5.000” kata sopir tua
“kalo ga mau bayar yowes ra usah” tambahnya lagi
Kami pun mengalah, kemudian membayar total Rp 45.000 untuk ongkos kami bertiga.
“semoga berkah ya, pak, rezekinya” kata saya
Baru saja kami turun dari minibus, kami langsung diajak untuk segera naik ke minibus tujuan Pasar Selo
“ayo mas, langsung berangkat” kata kondekturnya
Tas – tas kami diangkat dan ditaruh diatap minibus ini lalu ditutupi dengan terpal untuk mencegah air bila saja hujan ditengah perjalanan.
Perjalanan menuju Selo sedikit terganggu karena pada waktu itu sedang ada perbaikan jalan, ya jalan dari Pasar Cepogo – Selo kerap mengalami kerusakan karena intesitas hujan yang cukup tinggi diwilayah ini sehingga aspal jalan mudah sekali mengelupas. Untuk mencegah hal itu terulang kembali maka kini jalan dibuat dengan betonisasi. Langkah yang sangat layak untuk diapresiasi, sebuah kemajuan.
Tiba di Pasar Selo tapi sopir terus melajukan minibus-nya, rupanya ia hendak membawa kami hingga New Selo, namun mesin minibus-nya tidak kuat untuk membawa kami hingga basecamp New Selo padahal tinggal sedikit lagi. Kami pun turun dari minibus, lalu berjalan kaki menuju basecamp.
Tiba di basecamp kami beristirahat, leyeh – leyeh dan memesan makan siang berupa nasi liwet dengan lauk tempe orek dan telur ceplok. Menu sederhana yang cukup nikmat.
Usai makan siang, kami berkemas dan bersiap untuk memulai pendakian tapi sebelum itu tentunya kami wajib untuk registrasi dan membayar retribusi pendakian Gunung Merapi sebesar Rp 15.000 yang terdiri dari tiga item yaitu Karcis masuk pengunjung, karcis kegiatan penelusuran hutan dan mendaki gunung, karcis jasa jalur Gunung Merapi.
Setelah semuanya beres, kami mulai melangkahkan kaki menuju plang besar berwarna putih bertuliskan NEW SELO, mirip – mirip HOLLYWOOD di California sana.
Sampai di plang NEW SELO, kami berhenti untuk mengambil foto terlebih dahulu.
Lanjut lagi melewati jalur yang dikanan kirinya adalah perkebunan warga yang didominasi oleh tumbuhan tembakau.
Jalan kami sangat lambat, dengan tertatih – tatih selama 1 jam kami baru sampai di sebuah pondok dimana ada plang Selamat Datang di Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi. Kami beristirahat di pondok itu lalu tiba – tiba hujan deras membasahi Merapi dan sekitarnya. Hujan ini membuat kami tertahan agak lama di pondok, sehingga badan kembali menjadi dingin.
Akhirnya hujan reda, lanjut lagi melewati jalur yang licin dan basah.
Kami tiba dipersimpangan dimana terdapat dua jalur yang sama – sama berujung di Pos Watu Belah, kiri adalah Jalur Kartini sedangkan Kanan, saya tidak tahu nama jalurnya yang jelas jalur kanan ini lebih menanjak dibanding Jalur Kartini.
Kami memilih Jalur Kartini yang lebih landai namun entah mengapa jalur ini sangat sepi dari pendaki padahal menurut saya jalurnya asik.
Setelah melewati Jalur Kartini, tibalah kami di Pos Watu Belah, kami istirahat sejenak disini sembari foto – foto menghilangkan rasa lelah sekaligus mengeluarkan bakat terpendam kami, NARSIS!
TERJEBAK DITENGAH SEMAK!
Karena hari semakin sore kami tidak berlama – lama di Pos Watu Belah, segera kami melanjutkan pendakian dengan target Pasar Bubrah. Mungkinkah sampai sebelum gelap menyelimuti?
Kami lagi – lagi dihadapkan oleh sebuah pilihan, terdapat dua jalur yang keduanya sama – sama tembus ke Pos Watu Gajah. Jalur ke kiri menanjak tajam dan nantinya akan berjumpa dengan tiang Pos Dua, sedangkan jalur kanan merupakan jalur yang dibuat untuk evakuasi pada saat erupsi Gunung Merapi dua tahun yang lalu, jalur ini terbilang landai dan mengasyikan, pada pendakian pertama saya di gunung ini, saya melewati jalur ini, sehingga saya dengan percaya diri meyakinkan Fathul dan Fian memilih jalur ini.
Saat kami hendak memasuki jalur kanan itu, dua orang pendaki yang tidak kami kenal sebelumnya tiba – tiba bergabung bersama kami, alasannya mereka tidak membawa senter padahal gelap kini telah datang menghampiri.
Kami mempersilahkan mereka bergabung, mereka adalah Wahid dan seorang temannya asal Magelang, mereka mendaki Gunung Merapi dengan modal nekat! Kami tidak akan sampai hati membiarkan mereka terus mendaki tanpa penerangan.
Awal jalur kanan (evakuasi) ini masih landai dengan kondisi sebelah kanan tebing dan kiri jurang, kami terus berjalan hingga berhenti karena terdengar suara adzan maghrib.
Setelah adzan maghrib selesai kami kembali melangkahkan kaki hingga tiba – tiba Fathul berteriak
“bang, beneran jalurnya nih? Kok gag ada jalan lagi” ucapnya agak panik
Saya cukup kaget, kemana jalur yang pernah saya lewati dua tahun lalu itu? Namun saya tetap berusaha tenang.
“Tenang, saya pernah lewat sini, jalurnya ini benar, namun orang sudah jarang yang lewat sini” ucap saya dengan mimik wajah setenang mungkin, sebab jika saya panik maka akan mengacaukan tim karena saya lah yang mengajak melewati jalur ini.
“Bismillah, Ya Allah berikanlah kami keselamatan” dalam hati saya berdo’a
Posisi diubah, saya yang sebelumnya di belakang menjadi yang paling depan.
Dengan percaya diri saya terus melangkahkan kaki diikuti dengan teman – teman dibelakang, mata ini masih jeli melihat jalur yang kini telah ditutupi rerumputan setinggi orang dewasa.
Sementara itu salah satu diantara kami masih dijangkiti rasa panik, terus menerus menanyakan hal yang sama, “apa benar ini jalurnya? Apa benar ini jalurnya?”
Saya katakan “ya ini jalurnya, tenang saja lah, tidak usah panik”
Baju kami telah basah, campuran antara air hujan yang menempel di rerumputan dan keringat yang mengucur deras. Tenang.. Tenang.. dan tenang, saya masih yakin jalur ini akan tetap tembus hingga Watu Gajah.
Akhirnya, kami berhasil keluar dari jalur itu dan tiba di Pos Watu Gajah, Alhamdulillah. Allah masih sayang kepada kami semua sehingga nama kami tidak menjadi daftar pendaki hilang yang akan merepotkan banyak orang.
ISTIRAHAT DI WATU GAJAH
Pada awalnya kami masih ingin melanjutkan pendakian hingga Pasar Bubrah, namun kondisi fisik dan mental kami sudah tidak memungkinkan sehingga kami lebih memilih untuk beristirahat di Watu Gajah. Dua tenda kami dirikan, saya bergabung dengan Fathul dan Fian sementara itu Wahid bersama dengan temannya yang saya lupa namanya, hadeh.. ingatan saya akan sebuah nama memang kurang bagus.
Usai tenda didirikan kami membuat makan malam, kami bertiga masak dengan lauk yang lengkap, sementara itu Wahid dan temannya hanya berbekal mie instan saja, itu pun digado sama mereka, ondeh mandeh, benar – benar nekat dua orang ini.
Kami pun saling berbagi, inilah indahnya pendakian, meski sebelumnya tak kenal namun sekalinya kenal meski hanya dijalur sudah berasa seperti saudara.
MENUJU PASAR BUBRAH
Gelap telah menyingkir digantikan oleh terang, sayangnya tak sepenuhnya terang karena pagi itu matahari enggan muncul, awan tebal, kabut pekat serta angin kencang bersatu padu menghiasi suasana Gunung Merapi kala itu.
Kami berlindung di dalam tenda yang sudah basah akibat kondensasi. Menunggu cerah datang, supaya kami bisa melanjutkan pendakian ini.
Sementara itu Wahid dan temannya telah berangkat menuju puncak. Gile betul dah, dua orang itu, badai seperti ini pun dihadapinya.
Perlahan suasana mulai bersahabat, angin seperti lelah terus bertiup kencang. Kami mulai berani menampakan diri keluar dari tenda lalu membuat sarapan pagi.
Usai sarapan, kami mulai melangkahkan kaki kembali. Jika cuacanya sudah seperti ini Puncak Merapi mungkin akan kami dapati.
1 jam pendakian, kami telah tiba di Pasar Bubrah namun cuaca kembali berubah, angin kencang beserta kabut kembali datang. Belum lelah juga ternyata dia, saya salah duga.
Puncak Merapi seharusnya terlihat di Pasar Bubrah, namun sang kabut menutupinya, “ah enggan sekali dia berbagi” cetus saya.
Seolah tau keluhan saya, kabut beranjak pergi, Puncak Merapi kembali terlihat. Kami pun memanfaatkan kesempatan ini untuk berfoto.
Sudah puas kami di Pasar Bubrah, sebenarnya ingin menggapai Puncak Merapi tapi apa daya, angin masih saja berhembus kencang, puncak Merapi pun terkurung kabut, akhirnya kami putuskan kembali turun saja, toh tak akan lari gunung dikejar. Tapi kenapa kamu lari ketika saya kejar? Heeaahh..
Ketika hendak turun tiba – tiba ada yang menegur, rupanya Wahid dan temannya, mereka berhasil sampai puncak. Kami pun turun bersama – sama, jika ada panorama bagus kami berhenti lalu berfoto bersama atau bergantian, maklum pendaki narsis.
Kami tiba kembali di tenda, segera kami merapikan tenda serta meringkas semua barang bawaan.
Kami turun kembali ke New Selo, perjalanan turun sangat cepat, hanya dua jam, padahal kemarin untuk sampai Watu Gajah kami butuh waktu 6 jam.
Tiba di New Selo, kami singgah di warung untuk makan siang, nikmat banget rasanya. Sementara itu, Wahid bersama temannya izin pamit kepada kami, katanya ia hendak mengantarkan temannya ke Magelang terlebih dahulu sebelum kembali ke rumahnya yang berada di kaki Gunung Andong.
“jangan lupa ya, mas, tak tunggu di Gunung Andong” kata Wahid diakhir perjumpaan kami.
Pendakian telah usai, namun kebersamaan saya bersama Fathul dan Fian tetap berlanjut, kami sepakat untuk mencharter mobil yang akan mengantarkan kami ke Yogya.
Sampai di Yogya tepatnya di Stasiun Tugu, kami berpisah, mereka akan jalan – jalan ke sekeliling jalan Malioboro sementara saya sudah dijemput oleh Mas Dita, teman perjalanan yang saya kenali saat backpackeran ke Banyuwangi – Menjangan.
Oke, segini saja, (apanya yang segini aja wong panjang gini ceritanya) catatan perjalanan pendakian Gunung Merapi ini. Sampai jumpa di jalur ya.
Comments